Pagi, 1 Mei 2025 di Jakarta dibuka dengan dua pemandangan yang kontras. Di satu sisi, ribuan buruh mengenakan seragam organisasi masing-masing berkumpul di Monas. Di sisi lain, kerumunan yang lebih cair—terdiri dari mahasiswa, aktivis lingkungan, serikat buruh lainnya, dan beberapa kelompok anarko yang dikonfirmasi pihak kepolisian “menyusup” dalam aksi tersebut—memadati kawasan depan Gedung DPR RI.
“Aksi unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR disusupi perusuh dari kelompok Anarko,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi melalui keterangan resminya, Kamis, 1 Mei 2025.
Sebuah potret hasil wawancara dengan Rudi, bukan nama sebenarnya, yang merupakan salah satu peserta dari massa kedua. “Gue datang bukan buat bikin ribut. Gue datang awalnya ya karena pengen ikutan aja, kayak mulai ngerasa gue harus aksi buat bersuara,” kata Rudi saat kami temui. Ia bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan manufaktur yang ada di luar kota. Rudi memang ikut menjadi bagian dari Serikat Pekerja Buruh yang turut tergabung dalam aksi tersebut.
Rudi baru pertama kali mengikuti aksi seperti ini, dan ia juga tidak terlalu memiliki atensi dalam kegiatan serupa apalagi tertarik dengan kelompok ideologis tertentu. Tapi ia datang ke aksi itu karena merasa “kayak perlu aja gitu, punya pengalaman ikut-ikutan kayak gini.”
Ia mengaku awalnya ragu ketika melihat ada kelompok yang atributnya serba hitam di tengah massa. “Pikiran pertama gue: wah, ini jangan-jangan bakal chaos.” Tapi saat ia memberanikan diri berjalan dengan lebih dekat, ia justru menemukan sesuatu yang berbeda dari prasangkanya.
“Mereka bergerombol, ada yang bawa poster, ada juga yang ngajak ngobrol soal sistem ekonomi dan relasi kuasa. Ya, ada juga sih yang corat-coret di sepanjang tembok jalanan. Tapi, justru itu yang bikin gua makin penasaran.”
Siapa Saja di Depan Gedung DPR?

Aksi di depan Gedung DPR pada Hari Buruh itu tidak dimotori oleh satu kelompok saja. Di lapangan, kami mencatat kehadiran berbagai elemen: buruh dari serikat kecil dan independen, mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi, aktivis lingkungan yang membawa isu transisi energi, hingga pegiat solidaritas agraria. Kelompok dengan gerombolan berbaju hitam pun tak luput dari pandangan, namun bukan sebagai mayoritas.
Tidak ada satu komando tunggal. Aksi berlangsung cair, dengan orasi bergantian, pembacaan puisi, dan diskusi terbuka. Spanduk berisi kritik terhadap UU Cipta Kerja, fleksibilisasi tenaga kerja, hingga ketimpangan upah domestik terlihat di berbagai sudut. Ada juga isu sosial dan lingkungan yang gak kalah disuarakan.
Rudi menyebut suasana aksi itu lebih “jujur” ketimbang seremoni besar yang berlangsung di Monas. “Yang di sana kayak acara kenegaraan. Lengkap sama pidato presiden, standing applause, dan jargon industrialisasi.”
Namun ia menekankan, ini bukan soal siapa yang benar atau salah.
“Temen gue ada yang ikut ke Monas juga, dan mereka juga punya alasan. Beberapa memang dari serikat yang terafiliasi ke konfederasi besar. Gue enggak nyalahin itu. Tapi yang gue liat, aksi di DPR lebih mencerminkan suara mereka yang enggak sempat masuk ke podium,” katanya.
Tentang Anarko dan Stigma
Kehadiran kelompok anarko dalam demonstrasi buruh bukan hal baru. Namun stigma terhadap mereka, sering kali terkenal dengan aksinya yang dipandang negatif. Dalam berbagai pemberitaan, mereka kerap dicitrakan sebagai kelompok pemicu kerusuhan atau simbol kekacauan.
Kalo dari informasi Tempo.co, kelompok Anarko, atau sering disebut Anarko Sindikalis, adalah kelompok yang menganut ideologi anarkisme. Paham ini menolak sistem otoritas, termasuk pemerintahan dan sistem kapitalis. Di Indonesia, kelompok ini kerap muncul dalam berbagai demonstrasi besar, sering kali diwarnai kekerasan dan kerusakan fasilitas umum.
“Gue enggak setuju kalau ada yang anarkis beneran, misal rusak fasilitas umum atau bentrok sama warga. Tapi selama yang dilakukan itu ekspresi politik tanpa kekerasan, ya menurut gue sah-sah aja,” ujarnya, melanjutkan jawaban yang ditanyakan oleh Intiporia.
“Gue malah kadang penasaran juga sih, udah berapa kali ya itu pagar Gedung DPR diperbaiki?” ucapnya sambil tersenyum kecil.
Ia menyebutkan, dalam kemarahan kelompok-kelompok seperti anarko, seringkali ada refleksi dari perasaan kolektif yang lebih besar: frustrasi karena tak punya saluran formal untuk menyuarakan keresahan.
“Mungkin, ya.” tambahnya dengan mimik agak sedikit ragu..
Satu hal yang Rudi soroti adalah absennya liputan mendalam terhadap aksi di DPR. Media arus utama lebih banyak memuat potret aksi di Monas, lengkap dengan potongan pidato pejabat dan angka-angka investasi. Sementara aksi yang lebih kritis, lebih kecil, dan lebih beragam, nyaris tak terdengar.
“Yang di DPR itu bukan acara. Itu jeritan. Sayangnya enggak laku dijual di berita.”
Catatan Akhir
Aksi Hari Buruh 2025 menjadi pengingat bahwa gerakan rakyat di Indonesia hadir dalam berbagai bentuk. Ada yang tampil rapi, protokoler, dan penuh agenda resmi. Ada pula yang keras, tanpa podium, dan tak berlogo. Keduanya sah, selama tak menabrak batas hukum dan keselamatan publik.
Bagi Rudi, jika dirinya berdiri berdampingan dengan kelompok yang dikenal mengkhawatirkan itu, bukan soal ideologi, tapi soal keberanian menyuarakan yang selama ini tak terwakili. “Gue enggak jadi anarko setelah itu. Tapi gue jadi ngerti kenapa mereka marah. Dan kadang, kita semua juga marah. Cuma bentuknya beda-beda.”
Mungkin di situlah letak pelajaran dari 1 Mei kali ini. “Biar jadi pengalaman pertama gue-lah, lagian pasti semua punya tujuan,” tegas Rudi.
Ia menggarisbawahi pengalamannya itu, penuh pelajaran. Bahwa di balik simbol-simbol dan bendera yang berbeda, ada keresahan yang sama: hidup yang dinamis, dan negara yang harus siap untuk perlu menghadapi masyarakat kritis.***