Setiap tanggal 21 April, nama R.A. Kartini selalu menggema di seluruh pelosok Indonesia. Pada peringatan Hari Kartini 2025 ini, kita tidak hanya memperingati sosok pahlawan nasional yang lahir 146 tahun lalu, tetapi juga merefleksikan perjalanan panjang perempuan Indonesia dari zaman ke zaman.
Sosok yang dikenal dengan surat-suratnya yang kemudian dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” ini telah menjadi simbol perjuangan kesetaraan dan pembuka pintu emansipasi bagi perempuan Indonesia.
Di masa kolonial, ketika Kartini hidup, perempuan Indonesia menghadapi diskriminasi berlapis—tidak hanya sebagai perempuan tetapi juga sebagai warga negara terjajah.
Cita-cita Kartini untuk membuka akses pendidikan bagi kaum perempuan merupakan visi radikal untuk zamannya. Bersama tokoh-tokoh seperti Dewi Sartika di Jawa Barat, Maria Walanda Maramis di Sulawesi Utara, dan Nyai Ahmad Dahlan di Yogyakarta, mereka menjadi pionir yang meletakkan fondasi bagi gerakan perempuan di Indonesia.
Perjalanan emansipasi perempuan Indonesia terus berkembang setelah kemerdekaan. Meski UUD 1945 telah menjamin kesetaraan gender, implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan.
Era Orde Baru dengan program-program seperti PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) dan Dharma Wanita cenderung mengarahkan perempuan pada peran-peran yang mendukung pembangunan dalam bingkai “ibu yang baik” dan “pendamping suami.”
Reformasi 1998 membuka lembaran baru bagi perjuangan perempuan Indonesia. Terbentuknya Komnas Perempuan menandai komitmen negara untuk melindungi hak-hak perempuan. Kebijakan afirmasi seperti kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen mulai diterapkan pada Pemilu 2004. Ruang-ruang partisipasi publik semakin terbuka lebar bagi perempuan Indonesia.
Memasuki era digital dan global, perempuan Indonesia menghadapi lanskap yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Kemajuan teknologi membuka peluang tak terbatas sekaligus menghadirkan tantangan baru. Media sosial menjadi arena baru untuk menyuarakan isu-isu gender, tetapi juga menjadi wadah kekerasan berbasis gender dalam bentuk yang baru, seperti cyber harassment dan penyebaran konten intim tanpa persetujuan.
Data terkini menunjukkan kemajuan signifikan dalam berbagai bidang. Di sektor pendidikan tinggi, perempuan bahkan melebihi jumlah laki-laki di beberapa bidang studi. Perempuan semakin banyak yang menduduki posisi strategis di dunia korporasi, meski “glass ceiling” masih menjadi realitas di banyak sektor.
Di bidang UMKM, lebih dari 60% pelaku usaha adalah perempuan, menunjukkan peran vital mereka dalam ekonomi nasional.
Namun, di balik capaian tersebut, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Keterwakilan perempuan di DPR pada 2025 masih berkisar 21%, jauh dari target 30%. Kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang setara masih terjadi. Pernikahan dini dan kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan di banyak daerah.
Tantangan kontemporer lainnya yang dihadapi perempuan Indonesia adalah kesenjangan digital gender. Meski akses internet semakin meluas, perempuan di daerah pedesaan dan terpencil masih menghadapi hambatan dalam mengakses teknologi. Padahal, di era ekonomi digital, kemampuan memanfaatkan teknologi menjadi kunci keberhasilan ekonomi.
Perubahan iklim juga menjadi isu yang berdampak tidak proporsional terhadap perempuan. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan di daerah pesisir dan pertanian lebih rentan terdampak bencana alam dan gagal panen akibat perubahan iklim. Namun di sisi lain, keterlibatan perempuan dalam gerakan lingkungan dan solusi berbasis masyarakat juga semakin meningkat.
Yang tidak kalah penting adalah menyadari bahwa perempuan bukanlah kelompok homogen. Perempuan dari kelompok minoritas, penyandang disabilitas, atau dari kelompok ekonomi rendah menghadapi tantangan berlapis. Pendekatan interseksional dalam kebijakan dan program pemberdayaan perempuan menjadi keharusan untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
Jika Kartini hidup di era sekarang, mungkin ia akan bangga melihat perempuan Indonesia yang menjadi ilmuwan, politisi, pengusaha, atlet berprestasi, hingga pemimpin organisasi internasional. Namun ia juga mungkin akan mengingatkan bahwa perjalanan menuju kesetaraan yang substansial masih panjang.
Di peringatan Hari Kartini 2025 ini, marilah kita menghormati warisan Kartini dengan terus memperjuangkan kesetaraan yang mencakup semua aspek kehidupan. Emansipasi di era modern tidak lagi sekadar soal mengakses pendidikan dasar, tetapi tentang menciptakan ruang yang aman dan setara di semua bidang—mulai dari rumah tangga, tempat kerja, ruang publik, hingga dunia digital.
Semangat Kartini hari ini tidak hanya tentang “mengangkat” derajat perempuan, tetapi tentang membangun masyarakat yang berkeadilan bagi semua gender. Perempuan Indonesia generasi masa kini berdiri di atas pundak para pejuang sebelumnya, melanjutkan perjalanan yang belum selesai—perjalanan menuju Indonesia yang benar-benar setara dan berkeadilan.
Selamat Hari Kartini 2025. Semoga api perjuangan terus menyala dalam diri setiap perempuan Indonesia.