“Capek banget, tapi enggak tahu capek karena apa.” Kalimat ini mungkin sangat akrab di telinga Anda, bahkan mungkin pernah Anda ucapkan sendiri. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, banyak dari kita yang merasa terus-menerus disibukkan, lelah secara fisik dan mental, namun ironisnya, hati terasa hampa.
Waktu habis, energi terkuras, tetapi rasa puas dan bermakna seringkali absen. Fenomena ini bukanlah sekadar masalah manajemen waktu biasa, melainkan sebuah refleksi dari pencarian yang lebih dalam: makna dan arah hidup kita.
Memahami Kekosongan Eksistensial di Era Modern
Dalam ranah psikologi eksistensial, seorang psikiater dan filsuf terkenal, Viktor Frankl, memperkenalkan konsep yang sangat relevan dengan kondisi ini: “kekosongan eksistensial”.
Frankl mendefinisikan kondisi ini sebagai situasi ketika seseorang kehilangan orientasi makna dalam hidupnya. Ini bukan berarti kita tidak memiliki tujuan jangka pendek, seperti menyelesaikan pekerjaan, memenuhi tenggat waktu, atau mengurus keluarga. Namun, di balik semua aktivitas itu, ada kekosongan karena tidak ada koneksi yang kuat antara apa yang kita lakukan dengan nilai-nilai pribadi atau tujuan yang lebih besar dalam hidup.
Masyarakat kita saat ini cenderung memuja kesibukan. Sibuk seringkali diartikan sebagai tanda penting, produktif, bahkan sukses. Ada narasi tak tertulis bahwa orang yang sibuk berarti orang yang berharga. Media sosial semakin memperkuat narasi ini: kita merasa harus selalu terlihat aktif, terlihat bahagia, terlihat berhasil, dan memiliki jadwal padat. Ada tekanan tak terlihat untuk selalu ‘on’ dan ‘melakukan sesuatu’. Akibatnya, banyak dari kita terjebak dalam pusaran aktivitas tanpa henti, mengejar satu deadline ke deadline berikutnya, namun lupa untuk berhenti sejenak dan bertanya: “Untuk apa semua ini?”
Paradoksnya, di balik citra sibuk dan serba ada, banyak orang justru merasa semakin letih, bingung, dan tidak cukup. Perbandingan yang tak ada habisnya di media sosial menciptakan rasa tidak puas dan ketidakmampuan untuk menikmati apa yang sudah dimiliki. Kita mungkin memiliki banyak hal, namun tetap merasa ada yang kurang, tidak tahu persis apa yang sebenarnya kita inginkan, atau bagaimana mengisi kekosongan tersebut. Inilah yang menjadi akar dari rasa hampa meskipun jadwal kita penuh sesak.
Menyaring Kesibukan: Menemukan Makna dalam Keseharian
Lalu, apa solusinya? Bukan berarti kita harus berhenti dari semua aktivitas atau menjadi tidak produktif. Jauh dari itu. Kuncinya adalah menyusun ulang prioritas dan membangun koneksi yang lebih dalam antara aktivitas kita dengan apa yang benar-benar penting. Ini adalah proses refleksi yang mendalam, bukan sekadar ceklis harian.
Mulailah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar kepada diri sendiri, seperti: “Mengapa aku melakukan ini?” atau “Apakah aktivitas ini sejalan dengan nilai-nilai yang kupegang teguh?”. Pertanyaan-pertanyaan ini akan membantu Anda menyaring mana kesibukan yang bermakna dan mana yang hanya mengisi waktu tanpa memberi nilai tambah.
Misalnya, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga mungkin sejalan dengan nilai tanggung jawab, namun menghabiskan berjam-jam tanpa tujuan jelas di media sosial mungkin tidak. Ini adalah tentang mengidentifikasi nilai inti Anda dan memastikan bahwa sebagian besar waktu dan energi Anda dialokasikan untuk hal-hal yang mendukung nilai-nilai tersebut.
Untuk menemukan makna, kita perlu keberanian untuk berhenti sejenak dari kebisingan hidup. Di era yang serba cepat ini, momen hening menjadi kemewahan. Padahal, justru dalam keheningan itulah kita bisa mendengar suara hati sendiri, mengenali apa yang benar-benar penting, dan merumuskan tujuan hidup yang autentik. Ini bisa berarti meluangkan waktu untuk meditasi, menulis jurnal, melakukan hobi yang menenangkan, atau sekadar duduk diam dan merenung.
Membangun Kembali Hidup yang Bermakna
Mencari makna bukanlah sebuah pencarian yang terjadi sekali seumur hidup, melainkan sebuah perjalanan berkelanjutan. Makna tidak datang dari luar, seperti hadiah yang jatuh dari langit, melainkan dibentuk dari dalam. Ia muncul dari pilihan-pilihan yang kita buat, cara kita merespons tantangan, dan bagaimana kita berkontribusi kepada dunia di sekitar kita. Ketika kesibukan kita terhubung dengan makna, aktivitas sehari-hari yang awalnya terasa melelahkan dapat berubah menjadi sumber kepuasan dan energi.
Ini juga melibatkan kesadaran akan pengaruh media sosial. Kita harus bijak dalam mengonsumsi informasi dan membatasi perbandingan yang tidak sehat. Ingatlah, apa yang terlihat di media sosial seringkali adalah versi yang telah disaring dan tidak selalu mencerminkan realitas. Fokuslah pada perjalanan Anda sendiri dan apa yang benar-benar membuat Anda merasa hidup dan berarti.
Pada akhirnya, mengatasi perasaan sibuk namun kosong adalah tentang mengambil kembali kendali atas narasi hidup kita. Ini tentang berani menantang anggapan bahwa “sibuk adalah baik” jika kesibukan itu tidak melayani tujuan yang lebih tinggi. Dengan menyelaraskan tindakan kita dengan nilai-nilai dan tujuan terdalam, kita bisa mengubah kesibukan dari beban menjadi jembatan menuju kehidupan yang lebih penuh, memuaskan, dan bermakna.
Apakah Anda siap untuk menyaring kesibukan dalam hidup Anda dan menemukan makna yang sejati?