Paulo Freire dalam karya tulisnya berjudul Pedagogy of the Oppressed, menawarkan pandangan revolusioner, bahwa pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan arena politik antara yang tertindas dan yang menindas. Buku ini menjadi bacaan wajib bagi banyak aktivis mahasiswa, terutama mereka yang menggugat sistem pendidikan yang melanggengkan ketimpangan sosial.
Di tengah arus liberalisasi kampus dan tumpulnya ruang kritis akademik, Freire memberi arah baru: mahasiswa bukan sekadar pelajar, tetapi subyek perubahan sosial. Pendidikan yang membebaskan tidak lahir dari kepatuhan, tetapi dari dialog, kesadaran kritis, dan keberanian melawan.
Freire mengkritik sistem pendidikan “gaya bank”, di mana murid hanya dianggap sebagai tempat penyimpanan pengetahuan. Guru atau dosen menjadi satu-satunya sumber kebenaran. Mahasiswa, dalam sistem ini, hanya dituntut mendengar, mencatat, lalu mengulang kembali dalam ujian. Tak ada ruang untuk menggugat, bertanya, atau mengubah.
Kondisi ini masih sangat terasa di banyak perguruan tinggi hari ini. Mata kuliah lebih fokus pada penyesuaian dengan pasar kerja daripada menggugah kesadaran sosial. Pengetahuan dikomodifikasi, dan mahasiswa disiapkan menjadi tenaga kerja, bukan warga negara yang kritis. Pendidikan kehilangan watak pembebasnya.
Freire memperkenalkan konsep conscientização—kesadaran kritis. Bagi mahasiswa, ini berarti memahami bahwa dunia bukan sesuatu yang statis, tapi bisa diubah. Bahwa ketimpangan, eksploitasi, dan ketidakadilan bukan takdir, tapi hasil dari struktur yang bisa dilawan.
Gerakan mahasiswa 1998 menjadi contoh konkret. Mereka membaca dunia, bukan hanya buku. Mereka belajar dari rakyat, bukan hanya dosen. Dalam konteks itu, mereka menjalankan prinsip-prinsip Freire: mendialogkan kenyataan, membongkar kekuasaan, dan membangun solidaritas sejati.
Namun hari ini, semangat itu mulai meredup. Banyak organisasi mahasiswa kehilangan arah, terjebak dalam formalitas struktural dan kehilangan substansi perjuangan. Di sinilah pentingnya membaca ulang Freire—untuk menghidupkan kembali kampus sebagai ruang pembebasan, bukan hanya tempat pelatihan kerja.
Bagi Freire, pendidikan harus dibangun di atas dialog sejati. Artinya, mahasiswa dan dosen, mahasiswa dan masyarakat, harus saling mendengarkan. Tak ada posisi yang lebih tinggi. Semua adalah subjek yang belajar bersama untuk mengubah dunia.
Ini bukan romantisme. Ini adalah strategi politik. Karena pendidikan yang tidak membebaskan justru memperkuat dominasi. Jika mahasiswa hanya belajar untuk bekerja, maka pendidikan hanya memperkuat tatanan lama. Tapi jika mahasiswa belajar untuk membebaskan diri, masyarakat, dan lingkungannya maka pendidikan menjadi kekuatan transformatif.
Menjadi mahasiswa hari ini berarti memilih: tunduk pada sistem pendidikan yang menindas, atau menjadi bagian dari gerakan yang membebaskan. Paulo Freire telah memberi kita peta jalan: bangun kesadaran, tolak pendidikan yang membungkam, dan gunakan ilmu untuk menggugat dunia.
Karena seperti kata Freire, “Jika pendidikan tidak bisa membebaskan, maka ia akan menjadi alat penindasan.” Dan tugas mahasiswa adalah memastikan kampus tetap menjadi ruang perlawanan bukan penjinakan.