Biasanya, liburan semester jadi momen bahagia buat anak kost: tiket kereta ludes, bus penuh sama koper segede kulkas, dan WA grup kost mendadak sepi karena semua sudah sibuk packing.
Tapi tidak demikian dengan Yono (nama asli, tapi katanya gak papa disebut karena “biar emak di Jogja tau aku kuat”), mahasiswa semester empat jurusan Sastra yang kuliah di Depok. Yono harus merelakan liburannya tetap berlangsung di kost karena alasan klasik: dompet kering, saldo e-wallet cuma cukup buat beli seblak level satu, dan kiriman dari rumah belum turun karena “Bapak lagi nyicil motor.”
Yono cerita ke saya dengan gaya khas anak Jogja—kalem, tapi sesekali nyeletuk lucu yang bikin suasana gak terlalu mencekam. “Awalnya biasa aja, Mas. Udah sering juga kost sendirian, cuma kan biasanya masih ada satu dua yang nggak pulang. Nah ini… semua pulang. Satu bangunan kosong. Cuma aku tok, kayak penjaga museum tengah malam.”
Saya tertawa kecil, walau jujur mulai merinding. Karena dari caranya bercerita, ini bukan sekadar kisah iseng. Yono sempat beberapa kali narik napas dalam sebelum lanjut. “Malam itu gerimis, sunyi, dan aku susah tidur. Biasanya rame, sekarang kayak kuburan, Mas.”
Ia sempat nonton anime di laptop, tapi koneksi Wi-Fi seperti biasa ikut liburan lebih dulu. Sekitar pukul sebelas malam, hujan makin deras. Lampu kamar cuma satu yang nyala, itu pun lampu belajar yang cahayanya kuning temaram. TV kecil di pojok mati. Tidak ada suara lain kecuali bunyi rintik hujan dan sesekali deg-degan sendiri.
Dan saat mulai terkantuk, sekitar pukul dua belas lewat, terdengar suara jendela. Kreeeek… katanya, lalu BRAKK! seperti ada yang membanting jendela itu keras-keras. Padahal, menurut Yono, sebelumnya sudah dikunci rapat.
“Sumpah Mas, aku langsung bangun. Deg-degan. Aku kira maling, tapi mana ada maling buka jendela lalu ditutup lagi?” katanya. “Kalau itu maling, dia sopan banget. Sopan tapi ngeselin.”
Yono mengintip pelan. Tak ada siapa pun di luar. Hujan pun tak begitu kencang untuk membuat jendela seberisik itu. Ia akhirnya memilih kembali rebahan, berusaha tidur sambil baca ayat Kursi dalam hati—yang menurut pengakuannya sempat “keluar-keluar masuk otak karena panik.”
Belum sempat tenang, sekitar pukul satu dini hari, terdengar suara langkah di lorong kost. Pelan. Berat. Tok… tok… tok…
Langkah itu berjalan… lalu berhenti tepat di depan pintu kamarnya. “Mas… itu rasanya kayak nunggu pengumuman beasiswa. Deg-degannya bukan main. Tapi bedanya, ini lebih banyak horornya daripada harapannya,” kata Yono dengan ekspresi serius.
Tak ada suara ketukan. Tak ada sapaan. Tak ada notifikasi dari Gojek. Tapi langkah itu tidak terdengar lagi. Suasana kembali hening. Yono memutuskan untuk tetap terjaga sampai pagi, menyalakan semua lampu, dan memeluk guling seperti menyelamatkan diri dari tenggelam.
Besok paginya, ia menemukan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri: jejak kaki basah. Bukan bekas sepatu atau sandal, tapi seperti telapak kaki langsung. Di lantai lorong, tepat di depan pintu kamar. Aneh, karena lorong itu tidak kehujanan.
Yono tidak lapor ke pemilik kost, karena, “Ya gimana ya Mas, masa saya bilang, ‘Bu, kost Ibu kedatangan tamu tak kasat mata.’ Ntar dikira saya ngeledek.”
Malam berikutnya, ia langsung ngehubungi temannya yang kost-nya cuma beda dua blok dan langsung numpang nginep. “Aku bawa bantal, charger, sama teh hangat. Pokoknya gak balik dulu sebelum kost rame lagi,” katanya mantap.
Dari cerita Yono, saya belajar bahwa sendirian itu bukan cuma soal fisik, tapi soal rasa. Dan kadang, saat rasa sepi itu terlalu dalam, entah kenapa… ada “yang lain” yang datang mengisi. Bukan buat nemenin nonton, tapi mungkin… numpang eksis.
Jadi buat kamu, anak kost tangguh yang berencana bertahan sendirian saat liburan: pastikan jendela terkunci, lampu jangan semua dimatiin, dan jangan gengsi nginep ke kamar temen kalau mulai ada suara langkah di lorong tengah malam. Karena percayalah, tidak semua yang lewat depan kamar itu orang.