Lebaran selalu identik dengan kebersamaan, tawa riang, dan pelukan hangat keluarga. Namun, bagi sebagian orang, ada kekosongan yang tak bisa diisi.
Tahun ini adalah kali pertama Rahmat, seorang mahasiswa asli Purwakarta, harus merayakan lebaran tanpa kehadiran ayahnya yang telah berpulang setahun lalu.
Begitu pula dengan Dinda, sahabatnya yang juga berasal dari Purwakarta, yang harus merayakan hari raya tanpa ibunya yang meninggal dua tahun lalu.
“Biasanya, begitu malam takbiran tiba, bapak yang paling sibuk menyiapkan segala keperluan,” cerita Rahmat sambil tersenyum tipis.
“Dia memastikan semua beres, dari ketupat, opor ayam, sampai pakaian salat saya. Sekarang? Rasanya hampa, kayak dompet tanggal tua.” lanjut Rahmat sambil menatap layar handphone-nya, melihat foto ayahanda di galeri.
Sementara itu, Dinda merasakan hal yang sama. “Dulu ibu yang paling repot setiap lebaran. Selalu sibuk di dapur, memastikan makanan khas lebaran tersaji dengan sempurna. Sekarang? Rumah tetap berdiri, tapi rasanya berbeda. Lebih sepi, lebih sunyi, kayak hati jomblo di hari Valentine.”
Lebaran kali ini terasa lebih berat bagi keduanya. Jika sebelumnya Rahmat dan Dinda selalu menantikan momen hari raya dengan antusias, kini ada perasaan kosong yang menggantung di hati mereka.
“Biasanya, pagi-pagi bapak sudah siap di halaman rumah, menyapa tetangga yang datang bersalaman. Tahun ini, halaman rumah terasa lebih sepi,” ucap Rahmat.
Dinda mengangguk setuju. “Saya juga merasa begitu. Biasanya, ibu yang paling ribut menyuruh saya cepat bersiap untuk salat Idulfitri. Sekarang, hanya suara takbir dari masjid yang menemani pagi saya. Nggak ada lagi ibu yang tiba-tiba nyolek bilang, ‘Itu mukamu masih kucel, cuci muka dulu sana!'”
Di tengah meriahnya takbiran dan silaturahmi, mereka berdua merasa sendiri. Orang-orang sibuk mengunjungi sanak saudara, sementara Rahmat dan Dinda hanya bisa mengunjungi pusara orang tua mereka.
“Tiap kali melihat orang-orang berbondong-bondong ke rumah keluarga besar, saya refleks ingin menghubungi bapak. Tapi lalu saya sadar, beliau sudah nggak ada,” ujar Rahmat.
Dinda menambahkan, “Saya pun sering begitu. Rasanya aneh, biasanya ibu yang paling senang mengundang keluarga datang ke rumah. Sekarang, rumah tetap buka untuk tamu, tapi tanpa kehadiran sosok yang paling hangat. Kayak makan bakso tanpa sambal, hambar.”
Saat berziarah ke makam orang tua mereka, keduanya merasakan kesunyian yang berbeda. “Biasanya, setelah salat, saya langsung pulang untuk bersalaman dengan bapak. Sekarang, satu-satunya yang bisa saya lakukan hanya duduk di samping makamnya, membaca doa sambil menahan air mata,” ujar Rahmat lirih.
Dinda menghela napas panjang. “Saya juga hanya bisa berziarah ke makam ibu. Biasanya, saya memeluknya erat dan meminta maaf. Sekarang, saya hanya bisa berdoa dan berharap beliau tahu bahwa saya sangat merindukannya.”
Jika orang-orang pada umumnya berdesakan untuk sungkeman di sofa rumah, Rahmat dan Dinda justru sungkem di atas tanah beralaskan rerumputan makam. Sementara yang lain menangis terharu di pangkuan orang tua mereka, dua sahabat ini malah curhat panjang lebar di depan nisan.
“Bu, Pak, kalau kalian ada di sini pasti seru, ya? Tahun ini aku lulus, loh, Pak. Tapi ya gimana, nggak ada yang nungguin aku wisuda nanti,” kata Rahmat dengan tawa getir. Dinda pun tak mau kalah, “Bu, aku akhirnya bisa masak opor ayam tanpa gosong! Kangen ya, Bu, kalau ada Ibu pasti aku dimarahi karena dapur berantakan.”
Namun, di tengah kesedihan, Rahmat dan Dinda menemukan makna baru dalam lebaran. “Saya akhirnya sadar, meskipun bapak nggak ada secara fisik, kasih sayangnya tetap ada. Saya bisa merasakan beliau dalam setiap sudut rumah, dalam doa-doa yang saya panjatkan untuknya, dan dalam cerita-cerita yang masih sering diceritakan oleh keluarga,” kata Rahmat.
Dinda menambahkan, “Begitu juga dengan ibu. Kehangatan yang beliau tinggalkan tak akan pernah hilang. Saya bisa merasakan beliau dalam setiap momen lebaran, dalam masakan yang dulu sering beliau buat, dan dalam kenangan yang terus hidup di hati saya.”
Lebaran tanpa ayah atau ibu memang terasa berbeda. Ada rindu yang tak bisa terucap, ada harapan agar waktu bisa diputar kembali. Tapi seperti yang Rahmat dan Dinda pelajari, meskipun kehilangan terasa menyakitkan, kenangan dan cinta mereka akan selalu ada, menemani setiap langkah mereka.
“Tahun ini memang sepi, tapi saya percaya, bapak tetap melihat saya dari jauh. Dan di setiap doa yang saya panjatkan, saya berharap beliau bahagia di sana,” ucap Rahmat.
Dinda tersenyum kecil. “Begitu pula dengan ibu. Saya yakin beliau juga bahagia melihat saya tetap kuat dan berusaha menjalani semuanya dengan baik.”
***
















