Fenomena rangkap jabatan di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi sorotan publik. Bukan hanya pejabat aktif yang merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi, kini bahkan pimpinan serikat pekerja pun turut diberikan kursi di jajaran manajemen perusahaan milik negara.
Kondisi ini menimbulkan keprihatinan luas dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai etika, profesionalitas, serta potensi konflik kepentingan di lingkungan BUMN.
Praktik ini bukan hanya berisiko menurunkan efektivitas pengawasan dan akuntabilitas publik terhadap BUMN, tetapi juga berpotensi melanggar prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG). Apalagi, ketika pihak-pihak yang seharusnya menjadi mitra kritis—seperti serikat pekerja—malah diberikan jabatan strategis yang menempatkan mereka dalam posisi yang berpotensi kehilangan independensinya.
Pelanggaran terhadap Prinsip Good Corporate Governance
Good Corporate Governance mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kewajaran. Ketika seseorang menduduki dua jabatan strategis yang berbeda kepentingan, prinsip independensi dan akuntabilitas menjadi rentan tergerus. Serikat pekerja, misalnya, memiliki fungsi dasar untuk memperjuangkan hak-hak pekerja, melakukan pengawasan terhadap kebijakan manajemen yang dianggap merugikan buruh, serta menjadi pengimbang terhadap kekuasaan korporasi.
Namun, jika pimpinan serikat pekerja justru diangkat menjadi komisaris atau direksi BUMN, maka akan muncul pertanyaan besar: bagaimana mungkin seorang “pengawas” menjadi bagian dari manajemen yang diawasi? Di sinilah konflik kepentingan sangat mungkin terjadi, dan dalam banyak kasus justru melemahkan posisi tawar pekerja terhadap kebijakan korporasi.
Dasar Hukum yang Mengatur Larangan Rangkap Jabatan
Rangkap jabatan sebenarnya telah diatur dan dibatasi dalam berbagai regulasi di Indonesia. Beberapa dasar hukum yang relevan antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 17 menyebutkan bahwa penyelenggara pelayanan publik dilarang merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik dan/atau rangkap jabatan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Pasal 3 ayat (2) menyatakan ASN wajib menjunjung tinggi integritas dan bebas dari intervensi politik serta konflik kepentingan.
3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN, Pasal 26 menyebutkan bahwa komisaris dilarang memiliki kepentingan pribadi secara langsung atau tidak langsung atas kegiatan BUMN.
4. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-10/MBU/10/2020 tentang perubahan atas PER-02/MBU/02/2015 mengenai persyaratan pengangkatan komisaris dan direksi BUMN. Dalam regulasi ini, terdapat ketentuan mengenai larangan rangkap jabatan, kecuali dalam anak perusahaan dengan persetujuan menteri.
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang dalam Pasal 28 menjamin kebebasan dan independensi serikat pekerja dari campur tangan pihak manapun, termasuk manajemen.
Transparansi Publik dan Tuntutan Reformasi
Publik berhak tahu siapa saja pejabat yang rangkap jabatan di BUMN, termasuk latar belakang politik, organisasi, hingga relasi dengan kekuasaan. Keterbukaan ini penting untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan kelompok atau pribadi.
Kementerian BUMN semestinya mengedepankan prinsip meritokrasi dalam pengangkatan pejabat di perusahaan pelat merah. Pemberian kursi BUMN kepada pimpinan serikat pekerja juga mesti ditinjau ulang karena dapat mengganggu fungsi check and balance dalam perusahaan.
Rangkap jabatan, baik oleh pejabat publik maupun pimpinan serikat pekerja, bukan hanya persoalan etika, tapi juga berpotensi melanggar hukum dan menggerus kepercayaan publik terhadap tata kelola BUMN.
Sudah saatnya pemerintah melakukan reformasi serius dalam tubuh BUMN. Jangan biarkan kursi strategis dijadikan alat kompromi politik atau “bagi-bagi kue” kekuasaan. Karena BUMN adalah milik rakyat, dan pengelolaannya harus berpihak pada kepentingan publik, bukan elit semata.