Pemerintah bersama DPR RI resmi mengesahkan aturan baru yang melegalkan pelaksanaan ibadah umrah secara mandiri, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU).
Melalui regulasi baru ini, jamaah kini memiliki tiga pilihan untuk berangkat umrah: melalui penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU), secara mandiri, atau melalui mekanisme yang ditetapkan langsung oleh Menteri Agama.
Langkah ini disambut beragam oleh pelaku industri perjalanan ibadah. Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Zaky Zakaria Anshary, mengaku khawatir legalisasi umrah mandiri dapat mengganggu ekosistem usaha yang selama ini telah berjalan tertib di bawah regulasi Kementerian Agama.
Zaky mengutip pernyataan Ketua Umum DPP Indonesia Congress and Convention Association (INCCA), Dr. Iqbal Alan Abdullah, yang menilai legalisasi umrah mandiri bisa berdampak luas. Selain menurunkan perlindungan bagi jamaah, aturan ini juga berpotensi merugikan perekonomian nasional. Ada sekitar 4,2 juta pekerja yang menggantungkan hidup di sektor haji dan umrah.
Kekhawatiran itu, kata Zaky, bukan hanya soal hilangnya pangsa pasar, tapi juga tergerusnya fondasi ekonomi keumatan. Dengan dibukanya peluang umrah mandiri, perusahaan besar atau marketplace global seperti Agoda, Traveloka, Tiket.com, hingga platform asing seperti Nusuk dan Maysan bisa langsung menjual paket perjalanan ke jamaah Indonesia.
“Mereka memiliki modal besar dan strategi ‘bakar uang’ yang sulit disaingi oleh travel-travel berbasis umat. Jika ini dibiarkan, bukan hanya PPIU kecil-menengah yang runtuh, tapi juga rantai ekonomi domestik: hotel syariah, katering halal, layanan penerjemah, hingga TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) di sektor jasa bisa lenyap,” ujar Zaky dalam keterangan persnya, dikutip 24 Oktober 2025.
Ia menilai, tanpa mekanisme pengawasan yang jelas, risiko penipuan dan kesalahan dalam pelaksanaan ibadah dapat meningkat, serta memukul usaha kecil-menengah yang bergerak di bidang ini.
Sementara itu, UU PIHU yang baru disebut masih meninggalkan sejumlah pertanyaan, terutama terkait definisi “penyedia layanan” dan sistem informasi kementerian yang akan mengatur jalannya umrah mandiri. Pemerintah kini dituntut memastikan agar keterbukaan akses ini tidak justru menimbulkan kerentanan baru bagi jamaah dan pelaku industri lokal.
 
 








 
 







