Isu mengenai dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) seakan menjadi arus bawah yang tak pernah benar-benar surut sejak ia pertama kali menduduki kursi RI-1. Meski selama dua periode pemerintahannya polemik ini sempat mereda, isu tersebut kembali mencuat, bahkan menguat di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pertanyaannya, mengapa isu yang sudah usang ini kembali dipanaskan? Dan siapa yang diuntungkan dari narasi ini?
Kehadiran kembali wacana ijazah palsu Jokowi di ruang publik pasca beliau lengser, menandakan bahwa isu ini bukan semata menyangkut keabsahan dokumen akademik, melainkan merupakan simbol dari tarik-menarik kepentingan politik dan persepsi publik.
Banyak pihak menduga bahwa polemik ini bukan ditujukan untuk mencari kebenaran objektif, melainkan digunakan sebagai alat untuk mengaburkan warisan politik Jokowi atau bahkan menguji integritas sistem hukum dan birokrasi di bawah pemerintahan baru.
Dalam satu kesempatan, Jokowi secara terbuka menyatakan bahwa ia tidak berkewajiban memperlihatkan ijazah aslinya kepada publik atau kelompok tertentu seperti TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis).
“Mereka meminta untuk saya bisa menunjukkan ijazah asli. Saya sampaikan bahwa tidak ada kewajiban dari saya untuk menunjukkan itu kepada mereka,” ujar Jokowi dalam pertemuan dengan wartawan.
Namun, pada Rabu, 16 April, Presiden ketujuh RI ini akhirnya menunjukkan ijazahnya kepada awak media. Kendati demikian, ia tidak mengizinkan wartawan untuk mengambil gambar dari dokumen tersebut.
Langkah ini seolah menjadi kompromi antara tekanan publik dan prinsip privasi, meski justru memunculkan pertanyaan baru: mengapa ditunjukkan namun tidak boleh didokumentasikan? Apakah ini akan meredam atau malah memperpanjang spekulasi?
Lebih lanjut, Jokowi juga menyatakan bahwa dirinya tengah mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum atas tuduhan ijazah palsu yang terus dialamatkan kepadanya.
Ini menjadi babak baru yang menarik dalam drama politik pascarezim, ketika mantan presiden mulai menempuh jalur hukum untuk memulihkan reputasi dirinya, bukan lagi melalui jalur narasi publik, tetapi institusi formal. Pilihan ini tentu mengundang perhatian banyak pihak—karena selain menandai sikap tegas, juga menjadi sinyal bahwa isu ini telah melewati batas toleransi pribadi maupun politik.
Secara hukum, memang tidak ada keharusan bagi seorang mantan presiden untuk kembali membuktikan legalitas dokumen yang menjadi syarat pencalonannya di masa lampau. Namun secara sosiopolitik, ketidaksediaan Jokowi memperlihatkan ijazah secara utuh dan terbuka justru membuka celah bagi pihak-pihak yang ingin menegaskan narasi “ada yang ditutup-tutupi”. Pada titik ini, media massa dan media sosial mengambil peran penting dalam membentuk opini publik. Di era digital yang sangat cair, batas antara fakta dan framing menjadi sangat kabur.
Menariknya, isu ini mencuat saat kepemimpinan nasional telah berpindah tangan. Prabowo sebagai Presiden baru tidak pernah secara langsung terlibat dalam polemik ini, namun dinamika ini tidak bisa dilepaskan dari posisi dan pengaruh politik Jokowi yang masih kuat—baik di parlemen, partai politik, maupun di hati sebagian rakyat. Maka, pemberitaan tentang ijazah palsu ini bisa jadi merupakan bentuk tekanan atau bahkan pesan politik yang ditujukan secara tidak langsung kepada Jokowi maupun lingkar kekuatannya.
Persoalan ini berkembang bukan hanya sebagai diskursus administratif, tetapi telah menyentuh ruang yang lebih sentimental—menyangkut simbol eksistensi Jokowi sebagai sosok pemimpin rakyat yang muncul dari luar elit politik tradisional.
Wacana soal ijazah palsu menyentuh narasi tentang legitimasi sosial dan politik dari seorang tokoh yang selama sepuluh tahun mendefinisikan arah pembangunan nasional. Tidak mengherankan bila sejumlah politisi dan praktisi pendidikan turut bersuara, baik untuk membela maupun mempertanyakan.
Ada yang menganggap ini sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan lama, ada pula yang menyayangkan bagaimana sistem pendidikan Indonesia seolah dijadikan alat tawar-menawar dalam pertarungan politik pasca kekuasaan.
Respons penegakan hukum pun menjadi sorotan tersendiri. Ketika isu ini mendapat atensi besar di media, masyarakat menunggu bagaimana institusi hukum meresponsnya: apakah akan bergerak berdasarkan urgensi hukum objektif, atau justru tersandera oleh kalkulasi politik?
Dalam konteks ini, isu ijazah Jokowi berubah menjadi cermin dari kompleksitas penegakan hukum di Indonesia, yang tidak pernah sepenuhnya bebas dari tarik-menarik kekuasaan dan persepsi publik.
Pada akhirnya, eksistensi isu ini lebih dari sekadar pertanyaan tentang legalitas dokumen pribadi. Ia telah menjadi refleksi dari bagaimana ruang publik Indonesia dipenuhi oleh narasi simbolik, yang kerap kali lebih kuat daripada kebijakan substantif yang juga tidak lepas dari pemberitaan yang perlu diperhatikan publik.
Pemerintahan Prabowo memiliki tantangan untuk menunjukkan bahwa hukum berdiri tegak dan tidak digunakan sebagai alat balas dendam politik. Jika tidak, maka warisan demokrasi yang telah dibangun akan terus-menerus dihantui oleh narasi tanpa dasar yang hanya melahirkan polarisasi.
Dalam dunia politik, tidak semua yang tampak adalah kenyataan. Isu ijazah bisa jadi hanya simbol. Namun, bagaimana publik merespons dan bagaimana negara bersikap, akan menentukan seberapa dewasa kita dalam menjalankan demokrasi.***