Di balik lembutnya lantunan gamelan Sunda, tersimpan kisah seorang jenius yang tak hanya mencintai musik, tetapi juga meneliti hingga ke inti bunyinya. Dialah Raden Machjar Angga Koesoemadinata, seniman sekaligus musikolog besar yang lahir di Sumedang pada 7 Desember 1902 dan wafat di Bandung, 9 April 1979.
Nama Machjar bukan hanya dikenal di Indonesia. Pada tahun 1950, namanya tercatat dalam Dictionary Music & Musician—sebuah pengakuan dunia atas kiprahnya di bidang musikologi.
Ia dikenal sebagai pencipta sistem notasi nada Sunda “da-mi-na-ti-la-da” dan penemu sistem 17 tangga nada yang memungkinkan laras salendro dan pelog dimainkan dalam satu harmoni.
Dalam usia yang masih sangat muda, 21 tahun, Machjar telah memperkenalkan notasi yang kelak menjadi dasar pembelajaran musik Sunda modern. Ia menyebut karyanya itu sebagai serat kanayagan, dan dituangkan dalam buku Elmuning Kawih Sunda. Melalui temuannya ini, ia dianggap sebagai musikolog pertama di tanah Jawa.
“Pak Machjar-lah yang memperkenalkan notasi da-mi-na-ti-la-da ke para guru di Jawa Barat,” ujar Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia, saat membuka Pidangan Seni Budaya Rumawat Padjadjaran ke-71 bertajuk Mieling R. Machjar Angga Koesoemadinata di Bale Rumawat Unpad, Bandung, Kamis, 9 September 2014 lalu.
Lingkungan akademik dan seni yang membentuk masa kecilnya menjadi fondasi kuat bagi pemikirannya. Ketertarikannya terhadap musik Barat muncul ketika ia menempuh pendidikan di sekolah keguruan, bersamaan dengan pelajaran fisika. Dari sinilah lahir minat penelitiannya terhadap interval dan frekuensi suara dalam perangkat gamelan—perpaduan antara seni dan sains yang kala itu jarang dilakukan oleh musisi Nusantara.
Antara tahun 1916 hingga 1929, Machjar tidak hanya menciptakan teori, tetapi juga melahirkan karya nyata. Ia merumuskan laras salendro dengan 10 nada dan pelog dengan 9 nada, serta mengembangkan sistem 17 nada dalam satu oktaf. Teori ini kemudian ia aplikasikan dalam instrumen ciptaannya, seperti gitar “Erman” dan gamelan monumental “Ki Pembayun.”
Tak berhenti di situ, Machjar juga menciptakan alat Monochord, sebuah perangkat pengukur getaran suara yang kemudian digunakan oleh para ahli musik internasional.
Pertemuannya dengan musikolog Belanda, Jaap Kunst, pada tahun 1927 menjadi titik penting dalam perjalanan kariernya. Melalui pertemuan itu, sistem 17 tangga nada ciptaan Machjar dibawa ke Barat dan diadaptasi dalam sistem notasi musik Eropa. Inilah yang menjadikan karyanya sebagai sumbangan besar bagi perkembangan musik Sunda dan dunia.

Dalam acara Pidangan Seni Budaya Rumawat Padjadjaran ke-71 di Bale Rumawat Unpad, yang dikutip dari laman Unpad bertajuk Mengenang R. Machjar Angga Koesoemadinata, Musikolog Pencipta Notasi Nada Sunda sosok Machjar kembali dihidupkan melalui pertunjukan karya-karyanya dan diskusi ilmiah yang menghadirkan Priadi Dwi Prajito, Atang Ruswita, dan Prof. Dr. R. Prajatna Koesoemadinata, dengan Prof. Ganjar Kurnia sebagai moderator.
Melalui kisah hidup dan karya-karyanya, Raden Machjar Angga Koesoemadinata bukan hanya meninggalkan jejak pada musik Sunda, tetapi juga warisan intelektual yang membuktikan bahwa bunyi, bila diteliti dengan cinta dan logika, bisa menjangkau batas budaya dan zaman.