Mahasiswa telah lama menjadi aktor penting dalam perubahan sosial-politik Indonesia. Mereka bukan hanya kaum terdidik, tetapi juga barometer nurani publik. Namun, seperti halnya zaman yang berubah, wajah dan watak gerakan mahasiswa pun ikut bergeser.
Dari heroisme revolusioner 1966, romantisme reformasi 1998, hingga ambivalensi digital hari ini, dinamika mahasiswa mencerminkan tarik-menarik antara kesadaran kritis dan tekanan struktural.
Era 1966: Mahasiswa dan Militerisme Awal
Tahun 1966 adalah tonggak sejarah pertama peran besar mahasiswa. Melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), mereka menuntut pembubaran PKI dan mendesak Soekarno turun. Namun, tak bisa dipungkiri, gerakan ini juga terseret dalam skenario militer. Peran mahasiswa menjadi ambigu: antara kekuatan moral dan alat legitimasi kekuasaan baru.
Meski sukses menggulingkan Orde Lama, gerakan ini menyisakan pelajaran bahwa moral politik mahasiswa bisa diseret ke dalam kepentingan elite jika tidak dijaga dengan kesadaran kritis.
Era 1970–1980an: Masa Pembungkaman dan Konsolidasi Diam
Di era Orde Baru, kampus menjadi sasaran kontrol ketat negara. NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) diberlakukan, ruang politik mahasiswa dibatasi.
Namun, dari tekanan itu justru muncul benih-benih pemikiran kritis: diskusi bawah tanah, kelompok studi, hingga jaringan aktivis yang bergerak senyap tapi matang secara ideologis.
Di sinilah mulai tumbuh apa yang disebut “intelektual organik” mahasiswa yang tidak hanya kritis secara teori, tapi juga terhubung dengan realitas rakyat kecil.
Meledaknya gerakan mahasiswa 1998 adalah klimaks dari akumulasi frustrasi terhadap rezim otoriter. Mahasiswa turun ke jalan, menempati gedung DPR, dan menjadi penggugah kesadaran nasional. Gerakan ini berhasil menjatuhkan Soeharto, membuka pintu reformasi, dan memaksa elite politik berubah arah.
Namun pasca-1998, euforia itu pelan-pelan surut. Banyak tokoh mahasiswa terserap dalam sistem yang dulunya mereka lawan. Gerakan mulai kehilangan arah ideologisnya, tergantikan oleh politik praktis, kompromi, atau stagnasi dalam strukturalisme kampus.
Masuk abad 21, mahasiswa hidup dalam era informasi yang serba cepat. Media sosial menjadi alat protes, tetapi juga ruang distraksi. Isu-isu seperti demokrasi digital, krisis iklim, dan ketimpangan ekonomi mewarnai kesadaran baru. Namun, di saat yang sama, gerakan mahasiswa sering kali tidak terorganisir dengan baik, terpecah dalam identitas parsial, dan kehilangan orientasi strategis jangka panjang.
Aksi massa masih terjadi seperti pada 2019 saat menolak RKUHP dan UU KPK tetapi seringkali hanya bersifat sporadis. Tantangan hari ini adalah menghubungkan kesadaran digital dengan aksi kolektif yang terorganisir dan berorientasi jangka panjang.
Di tengah krisis multidimensi hari ini dari ekologi, pendidikan, hingga ketenagakerjaan diperlukan bentuk gerakan mahasiswa yang baru. Bukan hanya reformis, tapi juga transformatif. Mahasiswa harus kembali ke akar Freirean: membangun kesadaran kritis, berorganisasi, dan berpihak pada rakyat.
Gerakan mahasiswa ke depan harus mampu menggabungkan nalar intelektual, keberanian moral, dan strategi kolektif. Mahasiswa bukan sekadar pewaris sejarah perlawanan, tetapi penentu arah masa depan bangsa.
Sejarah menunjukkan bahwa mahasiswa akan selalu menghadapi dilema antara menjadi agen perubahan atau sekadar penonton sejarah. Dinamika itu terus bergulir. Tetapi satu hal pasti: jika mahasiswa berhenti berpikir kritis dan berorganisasi, maka kampus hanya akan menjadi pabrik ijazah bukan ruang pembebasan.
Kini saatnya menyalakan kembali semangat belajar untuk melawan, bukan sekadar lulus cepat dan bekerja nyaman. Karena sebagaimana sejarah mencatat, perubahan besar selalu dimulai dari ruang-ruang kecil diskusi, perlawanan, dan kesadaran mahasiswa.