Setiap tahun, gema takbir menggema hingga pelosok negeri. Idul Adha datang bukan hanya sebagai ritual kurban, tetapi sebagai pengingat spiritual: tentang pengorbanan, tentang berbagi, tentang solidaritas sesama manusia.
Namun di tengah sukacita ini, ada satu bayang-bayang yang kadang tak kita sadari: keserakahan yang menyaru dalam balutan perayaan.
Di banyak tempat, semangat kurban telah tergeser menjadi semangat “jualan daging.” Peternak instan bermunculan, penjual hewan mendadak meroketkan harga, bahkan ada yang menimbun stok untuk mencari margin lebih besar.
Ironisnya, di tengah pasar kurban yang menggeliat, masih banyak saudara kita yang justru tak kebagian sepotong pun. Mereka yang hidup dalam garis kemiskinan—buruh harian, pengungsi, lansia sendirian, atau anak-anak yatim di sudut kampung—tak terjangkau radar kemurahan hati kita.
Idul Adha adalah momen untuk mengingat bahwa daging yang kita bagi bukan sekadar tradisi tahunan. Ia adalah simbol komitmen kita terhadap keadilan sosial. Kurban bukan hanya penyembelihan hewan, tapi juga ego. Kesombongan. Ketamakan.
Bila semangat berbagi ditukar dengan semangat transaksi, maka kita telah mengkhianati ruh Idul Adha.
Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan kurban sebagai ajang pamer kekayaan atau kompetisi siapa yang paling banyak menyumbang. Justru, yang beliau tekankan adalah ketulusan niat, keberpihakan pada yang tertindas, dan perhatian pada sesama. Maka, jika ada orang yang membeli hewan kurban mahal tapi melupakan tetangganya yang lapar adakah makna kurban dalam tindakannya?
Mari kembali pada esensi Idul Adha: momen membersihkan hati, bukan menumpuk laba. Momen memperluas kepedulian, bukan memperbesar nama.
Karena sejatinya, di hadapan Allah, bukan darah atau daging yang sampai melainkan ketakwaan dan keikhlasan (QS Al-Hajj: 37).
Idul Adha adalah waktu untuk berbagi kebahagiaan. Jangan sampai keserakahan menghancurkan makna sejatinya. Karena bisa jadi, yang tak kebagian daging hari ini adalah saudaramu sesama muslim yang doanya lebih tulus, dan luka lapar di perutnya lebih didengar langit daripada niatmu yang tergelincir karena untung semata.