Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, melontarkan kritik keras terhadap dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam diskusi di kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP, Kamis 3 Juli 2025, Sudirman menyebut masa pemerintahan Jokowi sebagai periode “black hole” atau lubang hitam bagi demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia.
“Menurut saya terjadi satu black hole, satu lubang hitam ya. Karena pada periodenya Pak Jokowi inilah hasil reformasi yang dulu kita pingin demokrasi, pingin penegakan hukum, hapuskan KKN, KPK-nya diperkuat segala macam itu semua dengan sengaja menurut saya diambrukin,” ujar Sudirman, dikutip Suara.com, Jumat, 4 Juli 2025.
Sudirman mengatakan pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilakukan dengan sengaja demi melanggengkan kekuasaan dan dinasti politik.
“Menurut saya dengan sengaja. Sekarang kita harus simpulkan begitu. Mengapa? Karena ujungnya adalah yang jadi agenda bukan memperbaiki negara, tapi bagaimana mengikuti kepentingan pribadi dan keluarganya, sampai-sampai seluruh tatanan hukum etik itu dilabrak,” lanjutnya.
Ia juga menyoroti praktik nepotisme yang dinilainya semakin mengakar di pemerintahan Jokowi, termasuk dalam proses penunjukan pejabat yang dinilai tidak lagi berdasarkan kompetensi dan meritokrasi.
Parcok, Bansos, dan Kemunduran Etika Politik
Dalam perbincangan tersebut, Sudirman turut menyinggung keterlibatan institusi kepolisian dalam kontestasi politik, khususnya saat Pilpres 2024. Ia menyebut istilah “Parcok” (Partai Cokelat) yang merujuk pada dugaan keberpihakan Polri untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
“Isu tiga periode di periode itu pula terjadi muncul istilah parcok (partai cokelat) yang bagi saya kalau saya jadi keluarga polisi marah karena saya adalah sebagai polisi tugasnya to serve and protect tapi kemudian disebut sebagai parcok. Itu kan sebenarnya menyinggung, ya penghinaan gitu,” ujarnya.
Ia juga menyoroti penggunaan program bantuan sosial (bansos) secara masif menjelang Pemilu 2024, yang disebutnya sebagai strategi politik yang mengaburkan prinsip keadilan.
“Bansos gila-gilaan, ada studi oleh ekonom kita, pada waktu-waktu menjelang dan sesudah pemilu itu rupanya pertumbuhan terbesar dari ekonomi datang dari bansos yang dibagi secara gila-gilaan. Dan saya orang kampung, saya di desa itu mendengar seminggu bisa dapat telur dua kali, dapat beras dua kali segala macam,” ungkap Sudirman Said.
Simbol Kemunduran Demokrasi dan Kepemimpinan Tanpa Etika
Menurut Sudirman, seluruh gejala pelemahan demokrasi, penyelewengan kekuasaan, dan praktik nepotisme yang terjadi selama pemerintahan Jokowi merupakan bentuk pengabaian terhadap cita-cita reformasi.
“Jadi saya sebut black hole itu karena di tangan Pak Jokowi beserta perangkatnya itu demokrasinya mundur. KPK yang harus menjadi penjaga terakhir dilumpuhkan dengan sengaja,” katanya.
“Kemudian tadi ada sebutan Parcok yang namanya etika tidak ada lagi diabaikan begitu. Sampailah pada ujung dari kesemuanya adalah oh ternyata ujungnya nepotisme,” sambungnya.
Dalam sesi diskusi tersebut, Sudirman juga menyoroti pentingnya integritas dan meritokrasi dalam kepemimpinan nasional. Ia menekankan bahwa pejabat publik seharusnya dipilih berdasarkan kapabilitas, bukan karena kedekatan politik atau keluarga.
Harapan untuk Pemerintahan Baru
Meski memberikan kritik keras terhadap pemerintahan Jokowi, Sudirman menyatakan harapannya terhadap Presiden terpilih Prabowo Subianto. Ia menekankan pentingnya koreksi total dalam tata kelola pemerintahan, terutama dalam menghapus konflik kepentingan dan membangun sistem yang berbasis teknokrasi.
“Saya percaya Indonesia bisa pulih, tapi itu hanya mungkin jika ada kepemimpinan yang kuat, jujur, dan bertanggung jawab,” kata Sudirman dalam penutupan diskusi.
Pandangan Sudirman Said ini mendapat apresiasi dari Abraham Samad, yang menyebutnya sebagai refleksi penting bagi perbaikan bangsa ke depan. Diskusi mereka menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak boleh dibiarkan mundur, dan bahwa kekuasaan harus selalu diiringi oleh etika dan akuntabilitas.