Dalam kehidupan sosial, kita mengenal “orang” sebagai individu biasa. Namun, dalam sistem hukum, istilah ini memiliki arti yang jauh lebih dalam yang dibahas dan diatur pada KUH Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) yang berlaku di Indonesia.
Dalam buku Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 19–21), Subekti menyatakan bahwa “orang” atau persoon adalah pembawa hak, yaitu mereka yang menjadi subjek hukum, yakni pihak yang mampu memiliki hak dan kewajiban dalam hukum.
Sejalan dengan itu, Purbacaraka dan Soekanto juga menjelaskan bahwa subjek hukum adalah pihak-pihak yang berhubungan dengan sistem hukum.
Artinya, siapa pun yang berinteraksi dengan hukum—baik sebagai pemilik hak maupun sebagai pihak yang berkewajiban—dapat disebut sebagai subjek hukum.
Pengakuan dalam KUH Perdata Indonesia
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Indonesia, istilah “orang” dan status hukumnya diatur dalam Buku I tentang Hukum Orang. Beberapa pasal penting yang mendefinisikan orang sebagai subjek hukum antara lain:
-
Pasal 1 ayat (1): “Setiap manusia adalah orang.”
Ini menegaskan bahwa secara hukum, setiap manusia adalah subjek hukum. -
Pasal 1 ayat (2): “Yang dimaksud dengan orang pribadi ialah setiap manusia.”
Dengan demikian, hukum secara eksplisit mengakui manusia sebagai orang pribadi yang membawa hak dan kewajiban. -
Pasal 26: “Warga negara adalah setiap orang yang berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia ini diakui sebagai warga negara.”
Ini menambahkan aspek kewarganegaraan, yang menunjukkan identitas hukum seseorang dalam konteks negara.
Dua Jenis Subjek Hukum
Berdasarkan sistem hukum perdata, terdapat dua bentuk utama subjek hukum:
-
Manusia (Natuurlijke persoon) – Setiap individu secara biologis.
-
Badan Hukum (Rechtspersoon) – Entitas hukum seperti perusahaan, yayasan, atau organisasi lainnya.
Keduanya dapat:
-
Memiliki kekayaan,
-
Melakukan tindakan hukum,
-
Digugat maupun menggugat di pengadilan.
Kecakapan Hukum
Menurut Pasal 2 KUH Perdata, setiap manusia sejak lahir hingga meninggal dunia adalah pendukung hak dan kewajiban hukum. Namun demikian, untuk dapat bertindak sendiri secara sah dalam hukum, seseorang harus cakap (bekwaam).
KUH Perdata sendiri tidak secara eksplisit mendefinisikan kecakapan, namun secara konseptual istilah “cakap” merujuk pada kemampuan fisiologis dan psikologis seseorang untuk memahami dan bertanggung jawab atas tindakan hukumnya.
Berdasarkan Pasal 330 KUH Perdata, seseorang dianggap dewasa dan dengan demikian memiliki kecakapan hukum penuh apabila:
a. Telah mencapai umur 21 tahun atau lebih; atau
b. Telah menikah, meskipun usianya belum 21 tahun.
Artinya, anak di bawah umur (yang belum menikah dan berusia di bawah 21 tahun) termasuk dalam golongan yang tidak cakap hukum, dan oleh karena itu membutuhkan bantuan atau perwakilan hukum untuk bertindak sah dalam hukum.
Maka, jika disimpulkan bahwa tidak semua subjek hukum memiliki kecakapan hukum. Beberapa individu memerlukan perlindungan atau perwakilan hukum karena:
-
Belum dewasa (usia di bawah 21 tahun dan belum menikah),
-
Berada di bawah pengampuan (curatele) karena gangguan jiwa atau ketidakmampuan mengelola harta pribadi.
Meski tetap dianggap sebagai subjek hukum, mereka tidak cakap hukum dan membutuhkan wali atau pengampu.
Badan Hukum sebagai Subjek
Badan hukum, meski tidak hidup, dapat menjadi “orang” secara hukum. Mereka memiliki hak dan kewajiban serta dapat melakukan tindakan hukum atas nama institusi. Contohnya:
-
Perseroan Terbatas (PT) – Badan usaha.
-
Yayasan – Organisasi sosial atau pendidikan.
-
Wakaf – Lembaga keagamaan untuk pengelolaan aset publik.
Domisili dan Signifikansinya dalam Hukum
Domisili atau tempat tinggal hukum seseorang penting karena menentukan:
-
Yurisdiksi hukum,
-
Tempat pelaksanaan hak dan kewajiban hukum,
-
Tempat pengiriman surat atau dokumen resmi.
Jenis-jenis domisili meliputi:
-
Domisili Pokok: Tempat tinggal utama seseorang.
-
Domisili Mengikuti: Misalnya domisili istri mengikuti suami.
-
Domisili Pilihan: Tempat yang dipilih untuk keperluan hukum tertentu, seperti dalam kontrak.
Ketimpangan dalam Akses dan Perlindungan Hukum
Walau hukum menyatakan semua manusia sebagai subjek hukum, dalam praktiknya ketimpangan masih terjadi, misalnya:
-
Perbedaan batas usia pernikahan antara laki-laki dan perempuan,
-
Pembatasan hak perempuan dalam melakukan tindakan hukum tertentu tanpa izin suami.
Hal-hal seperti ini menunjukkan bahwa meskipun hukum telah menetapkan prinsip kesetaraan, implementasinya masih dipengaruhi oleh budaya dan kebijakan yang ada.
Dengan memahami siapa yang disebut “orang” dalam konteks hukum, kita dapat lebih sadar akan posisi kita sebagai subjek hukum. Baik manusia maupun badan hukum, selama mereka diakui dalam sistem hukum, memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi.
Pemahaman ini penting, bukan hanya untuk mahasiswa hukum, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin mengetahui bagaimana hukum bekerja dalam kehidupan sehari-hari.