Konflik yang berkepanjangan di Jalur Gaza tidak hanya menyisakan kehancuran infrastruktur dan trauma psikologis, tetapi juga membawa rakyat Gaza ke dalam jurang kelaparan yang semakin dalam.
Di tengah blokade, pemboman, dan kerusakan fasilitas umum, jutaan warga sipil terjebak dalam situasi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Kelaparan bukan lagi ancaman masa depan—ia telah menjadi kenyataan harian yang menghantui keluarga-keluarga di Gaza, terutama anak-anak dan orang lanjut usia.
Akar Permasalahan: Blokade dan Konflik Berkepanjangan
Sejak lebih dari satu dekade lalu, Gaza berada di bawah blokade ketat yang diberlakukan oleh Israel, dengan dukungan Mesir di sisi selatan. Blokade ini membatasi pergerakan barang dan manusia, termasuk makanan, obat-obatan, dan bahan bakar. Di tengah konflik bersenjata yang terus berulang, fasilitas penyimpanan, lahan pertanian, dan jalur distribusi rusak parah. Akibatnya, ketersediaan pangan menurun drastis, sementara harga-harga melambung tinggi.
Organisasi pangan dunia, seperti World Food Programme (WFP) dan UNRWA, berulang kali mengingatkan bahwa Gaza menghadapi krisis ketahanan pangan akut. Pada 2024, laporan WFP mencatat lebih dari 80% populasi di Gaza mengalami ketidakamanan pangan, dengan sebagian besar bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.
Dampak Terhadap Anak-Anak dan Kesehatan Masyarakat
Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap kelaparan. Kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan yang terganggu, gangguan kognitif, dan melemahnya sistem imun. Banyak balita di Gaza yang menderita gizi buruk kronis, yang berdampak panjang terhadap kualitas hidup mereka di masa depan.
Rumah sakit dan fasilitas kesehatan di Gaza, yang sebagian besar telah rusak atau kekurangan sumber daya, tidak mampu menangani lonjakan pasien yang mengalami komplikasi akibat kelaparan dan kekurangan nutrisi. Obat-obatan dan perlengkapan medis sangat terbatas. Listrik yang hanya menyala beberapa jam sehari juga menyulitkan penyimpanan makanan dan obat yang memerlukan pendingin.
Respons Internasional: Masih Jauh dari Cukup
Meski berbagai negara dan organisasi internasional telah menyalurkan bantuan, distribusinya sangat terhambat oleh kondisi di lapangan. Jalur distribusi yang rusak, izin akses yang sulit, serta risiko serangan membuat bantuan kemanusiaan tidak dapat menjangkau semua wilayah yang membutuhkan. Bahkan, ada laporan mengenai konvoi bantuan yang diserang atau dihalangi.
Dunia internasional dinilai belum cukup keras menekan pihak-pihak yang bertikai untuk menghentikan kekerasan dan membuka jalur kemanusiaan. Sementara itu, rakyat sipil Gaza terus menjadi korban utama dari ketidakpedulian global dan kepentingan politik.
Seruan untuk Solidaritas Kemanusiaan
Situasi di Gaza bukan sekadar isu politik atau konflik regional—ini adalah tragedi kemanusiaan. Dunia memiliki tanggung jawab moral untuk bertindak. Tekanan diplomatik, donasi kemanusiaan, dan advokasi publik menjadi kunci dalam membantu rakyat Gaza. Masyarakat sipil di berbagai negara, termasuk Indonesia, dapat memainkan peran penting melalui aksi solidaritas, penggalangan dana, serta penyebaran informasi yang berimbang.
Selain itu, penting bagi media dan lembaga kemanusiaan untuk terus mengangkat suara warga Gaza yang tidak terdengar. Mereka bukan sekadar angka statistik, melainkan manusia yang memiliki hak atas hidup yang layak, makanan, air bersih, dan keamanan.
Kelaparan di Gaza adalah luka terbuka yang terus menganga akibat perang dan ketidakadilan. Anak-anak tidur dalam keadaan lapar, orang tua berjuang mencari sesuap nasi, dan para tenaga kesehatan kelelahan tanpa dukungan. Dunia tidak bisa lagi menutup mata. Krisis ini membutuhkan lebih dari sekadar simpati—dibutuhkan aksi nyata, segera.