Ketika mendengar nama “Purwakarta” dan “Purwokerto”, sebagian besar orang akan terjebak pada kemiripan bunyi. Dua wilayah ini memang sama-sama berada di Jawa, sama-sama bukan ibu kota provinsi, dan keduanya sering disebut-sebut sebagai kota berkembang di tengah Jawa.
Namun, di balik kemiripan nama itu, jalan hidup dua kota ini ternyata sangat berbeda. Perbedaan ini bukan sekadar soal letak geografis, tapi mencerminkan persoalan yang lebih dalam: soal prioritas pembangunan, politik anggaran, tata ruang, hingga arah masa depan daerah.
Sejarah Singkat dan Letak Geografis
Purwakarta terletak di Provinsi Jawa Barat, berada di antara jalur strategis Jakarta-Bandung-Cirebon. Sementara itu, Purwokerto berada di Provinsi Jawa Tengah, menjadi pusat aktivitas ekonomi Kabupaten Banyumas. Kedua kota ini tidak berstatus sebagai kota otonom, melainkan merupakan bagian dari kabupaten. Namun keduanya kerap dianggap sebagai kota karena dinamika ekonominya yang lebih maju dibandingkan daerah sekitarnya.
Secara historis, Purwakarta tumbuh sebagai kota industri dan transit sejak zaman kolonial. Proyek Bendungan Jatiluhur dan kedekatannya dengan jalur kereta api serta jalan tol menjadikan kota ini lebih cepat terakses dari pusat-pusat ekonomi nasional.
Sementara Purwokerto, dikenal sebagai kota pendidikan dan jasa, berkembang dengan lebih pelan namun stabil, banyak dipengaruhi oleh kebijakan pendidikan tinggi dan birokrasi daerah.
Infrastruktur dan Tata Ruang: Siapa Lebih Siap Menyongsong Urbanisasi?
Purwakarta selama satu dekade terakhir cukup agresif dalam membangun wajah kotanya. Ruang-ruang publik diperluas, jalan-jalan utama dipercantik, dan konsep smart city mulai diperkenalkan. Sayangnya, pembangunan itu seringkali bersifat kosmetik: taman dan mural kota, tanpa disertai perencanaan transportasi massal, sanitasi skala besar, atau pengelolaan sampah berkelanjutan.
Sebaliknya, Purwokerto, meski tidak seagresif Purwakarta dalam promosi, telah lebih dulu memperkenalkan konsep pengembangan wilayah berbasis transit (Transit Oriented Development). Terminal Bulupitu, jaringan angkutan umum berbasis minibus (angkot), dan pengembangan jalan lingkar telah menjadi bukti bahwa tata ruang di kota ini lebih terintegrasi. Namun, stagnasi pembangunan kerap menghambat realisasi visi tersebut. Kurangnya dana, lemahnya koordinasi antarinstansi, dan keterbatasan SDM birokrasi menjadi kendala.
Politik Anggaran dan Prioritas Pembangunan
Perbedaan lain yang mencolok terletak pada kebijakan anggaran daerah. Kabupaten Purwakarta sempat dikenal karena alokasi belanja publik yang tinggi untuk infrastruktur dan pariwisata. Mantan bupatinya bahkan dikenal luas karena gaya komunikasinya yang nyentrik dan kampanye budaya lokal. Namun, sebagian pihak mengkritik bahwa belanja pembangunan lebih fokus pada proyek mercusuar ketimbang kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Purwokerto (Banyumas) mengambil pendekatan yang lebih konservatif: fokus pada pendidikan, infrastruktur dasar, dan pelayanan publik. Pendekatan ini memang tidak menarik perhatian media nasional, namun lebih tahan krisis. Ketika pandemi COVID-19 melanda, Banyumas lebih siap dalam mengatur belanja sosial dan menjaga keberlanjutan layanan dasar.
Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Wilayah
Data BPS menunjukkan bahwa Purwakarta memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi dibanding Purwokerto. Namun, jika melihat indikator lain seperti indeks pembangunan manusia (IPM), angka kemiskinan, dan ketimpangan wilayah, maka keunggulan itu menjadi tidak mutlak. Purwakarta diuntungkan oleh keberadaan industri besar seperti otomotif dan makanan-minuman. Namun keuntungan itu tidak selalu dinikmati secara merata.
Sebaliknya, Purwokerto meski PDRB-nya lebih rendah, memiliki indeks pembangunan manusia yang relatif stabil, bahkan menjadi salah satu yang tertinggi di Jawa Tengah. Tingkat literasi, partisipasi pendidikan, dan kesehatan relatif lebih merata. Ini menandakan bahwa ekonomi di Purwokerto lebih berbasis jasa dan pendidikan, yang cenderung mendistribusikan manfaat lebih luas.
Budaya Politik dan Peran Masyarakat Sipil
Perbedaan nasib dua kota ini juga tidak bisa dilepaskan dari budaya politik lokal. Purwakarta sempat mengalami pembelahan elite, tarik menarik proyek, dan kepemimpinan yang personalistik. Dalam banyak kasus, kekuasaan daerah terlalu bergantung pada figur tertentu, bukan kelembagaan.
Sebaliknya, Banyumas (Purwokerto) dikenal memiliki tradisi politik yang relatif lebih partisipatif. Pemerintah daerah lebih terbuka terhadap kritik dan usulan masyarakat sipil. Beberapa inisiatif warga dalam pengelolaan sampah, pengembangan UMKM, dan digitalisasi pelayanan publik justru muncul dari bawah, bukan dari atas. Ini memberikan sinyal positif bahwa politik lokal tidak sepenuhnya terjebak pada pragmatisme elektoral.
Mimpi Kota dan Masa Depan: Urbanisasi yang Adil?
Pertanyaannya sekarang: ke mana dua kota ini akan menuju? Urbanisasi adalah keniscayaan. Namun apakah urbanisasi itu akan memperkuat kohesi sosial, atau justru memperdalam ketimpangan?
Purwakarta bisa menjadi kota industri modern jika mampu memperbaiki tata kelola dan distribusi hasil pembangunan. Namun tanpa reformasi kebijakan, kota ini bisa terjebak pada model pembangunan eksklusif yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Purwokerto punya potensi menjadi kota pelajar dan pusat layanan publik regional. Namun, butuh visi yang berani dan investasi strategis di sektor transportasi, digitalisasi, dan lingkungan agar tidak tertinggal dari kota-kota lain di Jawa Tengah.
Purwakarta dan Purwokerto, Namanya Boleh Mirip Nasib Tidak Harus Sama
Purwakarta dan Purwokerto adalah cermin dari kompleksitas pembangunan di Indonesia. Di balik nama yang mirip, terdapat jalan sejarah, politik, dan ekonomi yang berbeda. Yang satu menonjol dalam pembangunan fisik, yang lain dalam layanan sosial. Yang satu padat industri, yang lain kaya pendidikan.
Tidak ada satu model yang benar atau salah, tapi masing-masing harus belajar dari kekurangan dan kelebihan kota lainnya.
Masyarakat sipil, elite politik lokal, dan pemerintah pusat punya peran dalam membentuk masa depan dua kota ini. Sebab pada akhirnya, bukan nama yang menentukan nasib, tapi keberanian untuk membangun keadilan sosial dan ekologis dari tingkat lokal.