Di era digital yang serba cepat, informasi menyebar lebih luas daripada sebelumnya. Namun, kemudahan ini juga membuka ruang besar bagi penyebaran disinformasi, yaitu informasi palsu yang sengaja dibuat untuk menipu dan memengaruhi opini publik.
Menurut We Are Social (2024), lebih dari 79% masyarakat Indonesia aktif di media sosial, menjadikan Indonesia salah satu negara paling rentan terhadap hoaks di Asia Tenggara. Tantangan utamanya bukan hanya memeriksa kebenaran informasi, tetapi bagaimana kita bersama-sama menjaga ruang digital tetap sehat dan berbasis fakta.
1. Pahami Apa Itu Disinformasi dan Dampaknya
Disinformasi berbeda dari misinformasi.
- Misinformasi: informasi salah yang dibagikan tanpa sengaja.
- Disinformasi: informasi palsu yang sengaja disebarkan untuk menyesatkan.
Contoh nyata terlihat saat pandemi COVID-19, di mana beredar kabar bohong soal “obat alami” yang disebut bisa menyembuhkan penyakit. Menurut Kementerian Kominfo, sejak 2020 hingga 2023 terdapat lebih dari 11.000 konten hoaks terkait COVID-19 yang tersebar di berbagai platform.
Dampaknya sangat nyata:
- Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap media dan pemerintah.
- Meningkatnya konflik sosial karena opini yang terpecah.
- Penyebaran kebijakan atau keputusan yang salah arah akibat informasi palsu.
2. Langkah-Langkah Verifikasi Informasi Sebelum Membagikan
Melawan disinformasi dimulai dari diri sendiri. Berikut langkah mudah yang bisa dilakukan sebelum membagikan berita:
- Periksa sumber berita. Pastikan berasal dari media yang kredibel seperti Kompas, Tempo, Antara, atau Detik.
- Cek tanggal dan konteks. Banyak berita lama yang diunggah ulang dengan narasi baru.
- Gunakan platform pengecekan fakta. Coba situs seperti CekFakta.com, TurnBackHoax.id, atau Google Fact Check Tools.
- Baca lebih dari satu sumber. Bandingkan isi berita di berbagai media untuk melihat konsistensinya.
- Waspadai judul sensasional. Banyak berita palsu memakai judul berlebihan untuk menarik perhatian.
Contoh nyata: Pernyataan viral tentang “garam bisa menyembuhkan COVID-19” dinyatakan tidak benar oleh TurnBackHoax.id setelah diverifikasi.
3. Gunakan Media Sosial Secara Cerdas dan Bertanggung Jawab
Media sosial bisa menjadi alat penyebar kebenaran atau kebohongan — tergantung bagaimana kita menggunakannya.
- Beberapa kebiasaan yang perlu diterapkan:
- Jangan membagikan berita sebelum membaca isinya.
- Gunakan fitur “laporkan” pada konten yang menyesatkan.
- Ikuti akun terpercaya, seperti lembaga resmi dan media arus utama.
- Diskusikan secara sehat jika menemukan konten mencurigakan.
Berdasarkan survei Katadata Insight Center (2024), 56% pengguna media sosial di Indonesia pernah tanpa sadar membagikan berita palsu. Angka ini menunjukkan pentingnya kesadaran digital di semua lapisan masyarakat.
4. Edukasi Literasi Digital: Solusi Jangka Panjang
Literasi digital adalah kemampuan untuk berpikir kritis dan menilai kebenaran informasi. Pemerintah dan komunitas telah menjalankan sejumlah program, seperti:
- Siberkreasi (Gerakan Nasional Literasi Digital): mengajarkan cara mengenali hoaks dan berpikir kritis.
- Program Bijak Bermedia Sosial (Kominfo): meningkatkan kesadaran etika dalam dunia digital.
- Pelatihan komunitas dan sekolah: mengajarkan cara mengenali berita palsu sejak dini.
Tips tambahan: Biasakan mengecek berita di lebih dari satu sumber, dan ajak keluarga atau teman ikut belajar membedakan fakta dan opini.
5. Peran Pemerintah dan Platform Digital dalam Menekan Disinformasi
Pemerintah dan perusahaan teknologi punya tanggung jawab besar dalam menjaga kebenaran informasi.
Beberapa langkah yang telah dilakukan:
- Kominfo menindak lebih dari 14.000 konten hoaks sejak 2018.
- Meta (Facebook, Instagram) bekerja sama dengan pengecekan fakta independen untuk menandai konten yang belum diverifikasi.
- TikTok dan X (Twitter) menambahkan fitur label kontekstual pada unggahan sensitif.
Pemerintah menerapkan Perpres No. 53 Tahun 2023 dan memperkuat UU ITE untuk mengatur keamanan digital.
Namun, penting diingat bahwa regulasi harus tetap menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab publik, agar tidak mengekang suara masyarakat.
Kesimpulan: Kolaborasi untuk Fakta yang Lebih Kuat
Mengatasi disinformasi membutuhkan kolaborasi tiga pilar utama — publik, media sosial, dan pemerintah. Publik perlu memverifikasi informasi sebelum membagikan, media sosial wajib memperkuat algoritma anti-hoaks, dan pemerintah harus menegakkan regulasi yang transparan.
Dengan kesadaran bersama dan literasi digital yang kuat, Indonesia dapat mewujudkan ruang informasi yang sehat, aman, dan berpihak pada kebenaran. Setiap kali kita menekan tombol “bagikan”, pastikan yang tersebar adalah fakta, bukan fiksi.















