Di banyak desa, hukum masih sering dianggap rumit, jauh, bahkan hanya urusan orang kota. Ada yang berkata, “Kalau tidak bersalah, buat apa takut hukum?” atau “Hukum itu hanya dipelajari orang yang kuliah hukum.”
Padahal, kenyataannya justru di desa-lah hukum hadir paling dekat dengan kehidupan masyarakat: dari sawah, warisan keluarga, bantuan sosial, hingga urusan pernikahan dan perceraian. Setiap hari warga berhadapan dengan aturan, baik yang tertulis maupun tidak. Sayangnya, karena hukum dianggap sesuatu yang asing, masyarakat desa sering kali dirugikan.
Ambil contoh soal tanah. Tidak sedikit warga yang kehilangan lahan karena tidak punya bukti kepemilikan resmi. Banyak pula yang bertengkar soal batas sawah, hanya berpegangan pada cerita turun-temurun tanpa dokumen jelas. Padahal, satu lembar sertifikat tanah bisa menjadi tameng yang kuat melindungi hak pemilik. Begitu juga dengan pernikahan siri.
Sah secara agama, tapi tanpa pencatatan di KUA, anak yang lahir akan kesulitan membuat akta kelahiran, dan istri tidak memiliki dasar hukum jika suatu saat menuntut hak nafkah atau menghadapi perceraian. Belum lagi soal dana desa. Uang yang seharusnya menjadi milik bersama bisa berubah jadi masalah jika tidak ada transparansi. Tanpa pengetahuan hukum, masyarakat hanya bisa diam, meski merasakan ada yang tidak beres.
Inilah sebabnya masyarakat desa perlu melek hukum. Tujuannya bukan untuk membuat hidup ribet dengan aturan, tetapi agar hak-hak warga terlindungi dan masalah bisa diselesaikan dengan adil. Warga yang paham hukum tidak mudah ditipu dengan surat abal-abal, tidak gampang diperdaya janji manis, dan lebih percaya diri memperjuangkan haknya. Dengan pemahaman sederhana saja, banyak masalah bisa dicegah sejak awal sebelum berkembang menjadi sengketa besar.
Belajar hukum pun sebenarnya tidak harus rumit. Tidak perlu seminar panjang dengan bahasa yang sulit dipahami. Cukup dengan memanfaatkan forum yang sudah ada di desa: pengajian, arisan, posyandu, atau rapat RT. Bahaslah hukum lewat cerita nyata sehari-hari, bukan dengan istilah yang membuat kepala pusing.
Bayangkan, betapa mudahnya jika dalam sebuah pengajian ada sesi singkat tentang pentingnya mencatatkan pernikahan, atau dalam arisan ada obrolan ringan tentang bagaimana cara mengurus sertifikat tanah. Warga akan lebih cepat mengerti karena merasa dekat dengan masalah yang dibicarakan.
Generasi muda pun bisa dilibatkan dengan cara yang lebih kreatif. Mereka bisa membuat drama sederhana tentang konflik warisan yang diselesaikan dengan hukum, atau lomba poster dengan tema hak warga desa. Bahkan lewat media sosial, edukasi hukum bisa dikemas dalam bentuk konten singkat yang menarik perhatian. Dengan begitu, hukum tidak lagi terasa kaku, melainkan akrab dan relevan.
Banyak orang takut mendengar kata “hukum” karena langsung terbayang polisi, pengadilan, atau penjara. Padahal hukum bukanlah monster yang menakutkan, melainkan pelindung. Hukum adalah tameng agar masyarakat tidak jadi korban ketidakadilan. Hukum hadir untuk memastikan sawah tetap aman, keluarga tetap rukun, bantuan sosial sampai pada yang berhak, dan konflik diselesaikan dengan musyawarah, bukan pertengkaran.
Masyarakat desa yang melek hukum akan lebih berdaya. Mereka tahu apa haknya dan bagaimana cara menuntutnya. Mereka tidak mudah diperdaya, tidak gampang diintimidasi, dan lebih percaya diri dalam mengambil keputusan. Desa pun akan menjadi lebih kuat, karena warganya mampu menjaga diri sekaligus menjaga kebersamaan. Tidak ada lagi ruang untuk penipuan dan penyalahgunaan, karena warga sudah tahu cara melindungi diri dengan aturan yang ada.
Kini saatnya desa tidak lagi memandang hukum sebagai sesuatu yang jauh dan rumit. Hukum ada di sekitar kita, dari urusan paling kecil hingga yang besar. Melek hukum bukan hanya urusan pejabat desa atau orang berpendidikan tinggi, tetapi urusan setiap warga. Dengan memahami hukum, masyarakat akan lebih tenang, lebih adil, dan lebih sejahtera.
Kalau desa ingin rukun dan sejahtera, tidak ada jalan lain selain mulai dari hal sederhana: urus surat tanah dengan benar, catat pernikahan di KUA, awasi penggunaan dana desa, dan jangan segan bertanya jika ada aturan yang belum jelas. Dengan langkah-langkah kecil seperti itu, masyarakat desa tidak akan mudah ditipu, dan hak-hak mereka tetap terjaga.
















