Baru-baru ini, jagad media sosial dihebohkan oleh sebuah insiden viral yang melibatkan seorang kepala sekolah (kepsek) di Banten yang menampar muridnya karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Peristiwa ini memicu perdebatan sengit.
Di satu sisi, ada dukungan terhadap ketegasan kepsek dalam menegakkan disiplin dan larangan merokok yang jelas-jelas melanggar aturan sekolah. Di sisi lain, muncul kritik keras terhadap penggunaan kekerasan fisik sebagai metode pendidikan, yang berujung pada laporan polisi dan penonaktifan sementara sang kepsek.
Kasus ini bukan hanya tentang disiplin siswa, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang bagaimana seharusnya sebuah hukuman diterapkan, sebuah perdebatan yang menarik untuk dibandingkan dengan prinsip-prinsip dalam sistem pendidikan Islam.
Kontroversi Hukuman Fisik dalam Pendidikan Modern
Merokok di sekolah merupakan pelanggaran serius yang mengancam kesehatan siswa lain dan menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Dalam konteks pendidikan nasional, sekolah memiliki kewenangan untuk membuat peraturan dan memberikan sanksi. Namun, pendekatan kepsek yang memilih kekerasan fisik, meskipun diklaim dilakukan secara spontan dan “tidak keras,” telah melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak dan Peraturan Menteri Pendidikan yang melarang kekerasan di lingkungan sekolah.
Reaksi publik terbelah; banyak warganet yang justru membela kepsek, menganggap tindakan keras diperlukan untuk “memberi efek jera” dan mengeluhkan bahwa saat ini guru sudah terlalu dibatasi dalam mendisiplinkan siswa. Namun, aksi protes mogok belajar yang dilakukan ratusan siswa lainnya menunjukkan bahwa metode kekerasan seringkali memicu trauma, perlawanan, dan bukannya memperbaiki perilaku. Pendidikan modern menekankan pendekatan yang humanis, edukatif, dan non-kekerasan, berfokus pada pembinaan karakter dan pemecahan masalah (seperti kecanduan merokok) melalui konseling dan sanksi yang bersifat membangun, bukan merusak harga diri.
Perbandingan dengan Perspektif Pendidikan Islam
Sistem pendidikan Islam memberikan panduan yang kaya tentang pembinaan moral dan penegakan disiplin.
Hukum Merokok: Sebagian besar ulama kontemporer, termasuk fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi besar seperti Muhammadiyah, telah mengharamkan rokok karena mengandung unsur bahaya (dampak buruk pada kesehatan diri dan orang lain), termasuk dalam kategori khaba′its (perkara buruk), dan merupakan pemborosan (tabdzir), yang bertentangan dengan prinsip dasar maqashidsyariah (tujuan syariah), yaitu menjaga jiwa (hifzhan−nafs) dan harta (hifzhal−mal). Dalam lingkungan pesantren, larangan merokok sangat ketat.
Metode Hukuman: Meskipun Islam memperbolehkan hukuman (ta′zir) sebagai sanksi atas pelanggaran syariat dan aturan, metode yang diterapkan haruslah mendidik dan proporsional. Rasulullah ﷺ sangat menekankan kelembutan (rifq) dalam berdakwah dan mendidik. Beliau bersabda: “Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu, kecuali ia akan menghiasinya. Dan tidaklah kelembutan itu dicabut dari sesuatu, kecuali ia akan menjelekkannya.” (HR. Muslim).
Dalam kasus pelanggaran disiplin seperti merokok, pendidikan Islam mengutamakan pendekatan persuasif, nasihat yang bijaksana, keteladanan (uswatunhasanah), serta pembinaan akhlak. Jika sanksi fisik diperlukan, ia sangat dibatasi dan hanya boleh dilakukan dalam kondisi sangat khusus, tanpa melukai dan hanya bertujuan untuk mendidik, bukan melampiaskan amarah. Hukuman fisik yang berlebihan, yang melukai, atau merendahkan martabat dilarang keras, sebab tujuan pendidikan Islam adalah membentuk pribadi yang berakhlak mulia (makarimalakhlak), bukan menimbulkan kebencian atau trauma. Sekolah dan guru, dalam pandangan Islam, berfungsi sebagai murabbi (pendidik) dan mu′allim (pengajar), yang tugasnya adalah membimbing dengan kasih sayang.
Kasus kepsek yang menampar muridnya menunjukkan konflik antara keinginan untuk menegakkan disiplin dengan cara yang dianggap “tegas” dan tuntutan untuk mematuhi standar perlindungan anak. Baik dalam pendidikan modern maupun dalam bingkai pendidikan Islam, penggunaan kekerasan fisik adalah metode yang usang, merusak, dan tidak efektif. Islam sendiri mengajarkan bahwa penegakan disiplin, bahkan atas perbuatan yang diharamkan seperti merokok, harus dilakukan dengan hikmah, proporsionalitas, dan fokus pada pembinaan jiwa serta perbaikan perilaku, bukan penghukuman yang melukai fisik atau mental. Kejadian ini harus menjadi momentum bagi dunia pendidikan Indonesia untuk kembali pada esensi mendidik: menciptakan generasi berakhlak melalui teladan dan pendekatan yang memuliakan martabat kemanusiaan dan karakter bangsa yang kuat.
















