Biasanya orang ke rumah sakit itu buat sembuh. Tapi apa jadinya kalau justru malah pulang bawa trauma? Bukan cuma trauma karena tagihan obat yang mahal, ya, tapi trauma sesungguhnya: jadi korban kekerasan seksual.
Nah, ini bukan plot sinetron kriminal, tapi kisah nyata yang baru-baru ini terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Pelakunya? Seorang dokter muda yang lagi sekolah spesialis anestesi—sebut saja P.A.P. Bukan PAP semesteran ya, walau sama-sama bikin deg-degan.
Ketika “Ambil Darah” Berujung Gelap
Dilansir dari laman resmi Humas Polda Jabar, ceritanya, si dokter ini membawa korban berinisial F.H yang saat itu tengah menjaga ayahnya yang menjadi pasien. Korban diminta oleh tersangka untuk pengecekan atau transfusi darah. Korban dibawa dari IGD ke sebuah ruangan di lantai 7 Gedung MCHC, sekitar jam 1 dini hari. Katanya sih, mau “ambil darah” dan cek alergi. Tapi yang mencurigakan, adik korban dilarang ikut. Hmm… ada bendera merah nih (dan ini bukan soal hemoglobin).
Begitu sampai di ruang 711, F.H. diminta ganti baju operasi dan melepas pakaian dalam. Lalu, katanya lagi, si dokter menusuk-nusuk korban (dalam konteks medis, harap tenang) dengan jarum suntik sampai 15 kali. Setelah itu, cairan bening misterius disuntikkan ke infus. Korban langsung pusing dan… blackout.
“Sesampainya di ruang 711, tersangka meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi dan melepas pakaian dalamnya. P.A.P. kemudian melakukan pengambilan darah dengan sekitar 15 kali tusukan, lalu menyuntikkan cairan bening ke infus yang membuat korban pusing dan tak sadarkan diri,” ujar Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol. Hendra Rochmawan S.I.K., M.H. dalam penjelasannya persnya, 9 April 2025.
Korban baru sadar sekitar jam 4 pagi dalam kondisi sakit di bagian sensitif. Dan kita semua tahu, itu bukan efek samping dari cek alergi biasa.
Power? Yes. Abuse of Power? Big Yes.
Kalau kamu pikir ini cuma soal “dokter nakal”, kamu belum lihat masalah sebenarnya. Relasi kuasa antara dokter dan pasien itu kayak antara pemilik remote dan TV, terlebih ini adalah keluarga pasien yang turut ‘diperiksa’.
Pasien nurut, dokter ngatur. Tapi kalau si “pemilik remote” niatnya jahat? Ya, bisa kacau.
Dokter punya ilmu, punya akses ke tubuh pasien, dan… punya kepercayaan. Nah, kepercayaan ini yang disalahgunakan. Bukan cuma melanggar etika, tapi juga melukai rasa aman pasien. Terutama kalau ruang pemeriksaannya kayak set film horor—sunyi, tertutup, tanpa saksi.
Sistem Rumah Sakit: Ke Mana Aja?
Coba deh pikir: ini kejadian bukan sekali. Lokasinya pun itu-itu aja, di ruang 711. Gimana bisa ada kegiatan “medis” tanpa pengawasan di tempat yang sepi? CCTV? Ada. Tapi fungsi CCTV bukan buat nonton replay kejadian aneh, kan? Harusnya mencegah sejak awal.
Apa enggak ada sistem pengawasan di situ? Satpam? Suster? Alarm otomatis kalau ada aktivitas mencurigakan jam 1 pagi? Kalau enggak ada, wah… fix perlu upgrade SOP. Standard Operating Perasaan.
Hukum Bicara: Tapi Cukupkah?
Untungnya, korban melapor. Polda Jawa Barat bergerak cepat, mengamankan alat medis, obat bius macam Propofol, Fentanyl, dan Midazolam (yang kalau di film barat dipakai agen CIA). Juga ada rekaman CCTV dan… satu buah kondom.
Ya, barang bukti ini makin memperjelas bahwa ini bukan salah paham medis.
Pelaku kini dijerat dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pasal 6C UU Nomor 12 Tahun 2022. Ancaman hukumannya? 12 tahun penjara. Tapi pertanyaannya: cukupkah ini mencegah kasus serupa di masa depan?
Pasien Jadi Korban Dua Kali
Bayangin deh, kamu pergi ke dokter karena butuh pertolongan. Tapi pulang malah bawa trauma dan kehilangan kepercayaan pada seluruh profesi medis. Ini bukan luka kecil yang bisa ditutup plester. Ini luka batin yang dalam—bahkan bisa bikin pasien takut ke rumah sakit lagi (iatrofobia, istilah kerennya).
Dan yang lebih mengerikan: kasus ini bisa bikin pasien-pasien lain—khususnya perempuan—jadi takut untuk memeriksakan diri atau ragu kalau dokter minta ganti baju.
Kalau Mau Aman, Sistemnya Harus Waras
Kita enggak bisa terus bilang “oknum”, lalu selesai. Harus ada perbaikan sistem yang nyata. Beberapa hal yang harus segera masuk wishlist dunia medis kita:
1. Pemeriksaan Sensitif = Wajib Ada Pendamping
Mau itu perawat, keluarga, atau tenaga medis lain. Minimal harus ada dua orang yang tahu apa yang sedang terjadi.
2. Ruangan Medis Jangan Kayak Lab Rahasia
Pakai ruang terbuka, pasang kamera yang aktif (dan diawasi), jangan yang sekadar dekorasi.
3. Lapor Jadi Mudah dan Aman
Harus ada saluran pengaduan yang anonim, cepat, dan melindungi pelapor. Jangan sampai korban yang trauma malah dibikin ribet atau malah disalahkan.
4. Etika Medis Jangan Sekadar Teori
Dokter bukan cuma belajar operasi, tapi juga empati. Pendidikan kedokteran harus serius dalam hal ini. Ada pelatihan rutin, ada diskusi tentang batas profesional, dan yang paling penting: tentang relasi kuasa.
Kepercayaan Itu Bukan Sekadar Gelar
Kasus ini bukan cuma soal satu dokter jahat. Ini cermin rusak dari sistem yang harusnya menyembuhkan, tapi malah jadi ladang predator. Kepercayaan publik itu dibangun bertahun-tahun, tapi bisa runtuh hanya dalam satu kasus seperti ini.
Jadi, kalau kita masih mau bilang “profesi dokter adalah profesi mulia”, ya mari kita pastikan sistemnya juga mulia. Aman bagi pasien, adil dalam pengawasan, dan terbuka terhadap kritik.
Dan buat kamu yang calon dokter: semoga jadi dokter yang bukan cuma bisa nyuntik, tapi juga bisa menyembuhkan—tanpa bikin sakit hati (dan trauma mental)