• Tentang Kami
  • Layanan Iklan
  • Hubungi Kami
Kamis, 23 Oktober 2025
Intiporia
Kirim Artikel
  • Sekilas
  • Tren
    • All
    • Budaya
    • Dunia
    • Film
    • Kampus
    • Lingkungan
    • Lokal
    • Musik
    • Muslim
    • Olahraga
    • Opini
    • Peristiwa
    • Politik
    • Selebritas
    • Teknologi
    • Wisata
    Disinformasi

    Mengatasi Disinformasi: Peran Publik, Media Sosial, dan Pemerintah dalam Menjaga Fakta

    Sumur Bor

    Sidak ke Pabrik, Dedi Mulyadi Kaget Tahu Aqua Ambil Air dari Sumur Bor

    Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berkunjung ke Bank Indonesia

    Bank Indonesia Klarifikasi Isu Dana Rp4,1 Triliun yang Diendapkan oleh Pemprov Jawa Barat

    KAI

    KAI dan PLN Teken Kesepakatan Elektrifikasi Jalur Kereta Api Cikampek-Jawa Timur

    Pendidikan

    Transformasi Pendidikan: Pemerintah Perkenalkan Perangkat Interaktif Digital di Setiap Sekolah

    Denmark Open 2025: Jonatan Keluar Sebagai juara

    Jonatan Christie Juara Denmark Open 2025, Kuasai Angin dan Buktikan Proses Pemulihan Fisik

    Pasar Seni ITB

    Kebangkitan Kembali Tradisi: Pasar Seni ITB 2025 Sedot Lebih dari 200.000 Pengunjung

    Bidage Alun Kiansantang Purwakarta

    Bagian ke-2: Brigade III Kiansantang, Dari Medan Perang ke Nama Sebuah Alun-Alun di Purwakarta

    Bidage Alun Kiansantang Purwakarta

    Dari Dalem Shalawat hingga Alun-Alun Kiansantang: Cikal Bakal Kota Purwakarta

  • Have Fun!
  • Esai
  • Belajar
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
No Result
View All Result
Intiporia
  • Sekilas
  • Tren
    • All
    • Budaya
    • Dunia
    • Film
    • Kampus
    • Lingkungan
    • Lokal
    • Musik
    • Muslim
    • Olahraga
    • Opini
    • Peristiwa
    • Politik
    • Selebritas
    • Teknologi
    • Wisata
    Disinformasi

    Mengatasi Disinformasi: Peran Publik, Media Sosial, dan Pemerintah dalam Menjaga Fakta

    Sumur Bor

    Sidak ke Pabrik, Dedi Mulyadi Kaget Tahu Aqua Ambil Air dari Sumur Bor

    Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berkunjung ke Bank Indonesia

    Bank Indonesia Klarifikasi Isu Dana Rp4,1 Triliun yang Diendapkan oleh Pemprov Jawa Barat

    KAI

    KAI dan PLN Teken Kesepakatan Elektrifikasi Jalur Kereta Api Cikampek-Jawa Timur

    Pendidikan

    Transformasi Pendidikan: Pemerintah Perkenalkan Perangkat Interaktif Digital di Setiap Sekolah

    Denmark Open 2025: Jonatan Keluar Sebagai juara

    Jonatan Christie Juara Denmark Open 2025, Kuasai Angin dan Buktikan Proses Pemulihan Fisik

    Pasar Seni ITB

    Kebangkitan Kembali Tradisi: Pasar Seni ITB 2025 Sedot Lebih dari 200.000 Pengunjung

    Bidage Alun Kiansantang Purwakarta

    Bagian ke-2: Brigade III Kiansantang, Dari Medan Perang ke Nama Sebuah Alun-Alun di Purwakarta

    Bidage Alun Kiansantang Purwakarta

    Dari Dalem Shalawat hingga Alun-Alun Kiansantang: Cikal Bakal Kota Purwakarta

  • Have Fun!
  • Esai
  • Belajar
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
Intiporia
  • Sekilas
  • Tren
  • Have Fun!
  • Esai
  • Belajar
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
Home Esai

Fenomena Rojali dan Rohana: Ilusi Kemewahan dan Status Sosial di Mall

T.H. Hari Sucahyo by T.H. Hari Sucahyo
25 September 2025
in Esai, Gaya Hidup, Opini
Rojali dan Rohana

Ilustrasi Foto - Unsplash/ charlesdeluvio

Share on WhatsappShare on FacebookShare on Linkedin

Setiap akhir pekan, pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar ramai dipadati pengunjung. Tidak semua datang untuk belanja. Sebagian besar hanya melihat-lihat, mencoba barang, berpose di depan etalase, dan bertanya-tanya kepada penjaga toko tanpa pernah membeli. Mereka dikenal dengan julukan yang menggelitik: Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya). Fenomena ini bukan sekadar perilaku kasual masyarakat urban, tetapi gejala sosial yang menarik untuk ditelaah dari sudut pandang psikologi ekonomi.

Tindakan Rojali dan Rohana mencerminkan ketegangan antara keinginan konsumsi yang dibentuk oleh lingkungan kapitalistik dengan kapasitas ekonomi riil yang terbatas. Mall bukan hanya ruang transaksi, tapi juga arena simbolik tempat orang mencari pengakuan, pelampiasan, bahkan pelarian. Rojali dan Rohana datang bukan hanya karena ingin tahu harga barang, tetapi juga ingin merasa menjadi bagian dari dunia konsumsi itu, meski secara aktual tidak mampu berpartisipasi secara ekonomi.

BACA JUGA

Mengatasi Disinformasi: Peran Publik, Media Sosial, dan Pemerintah dalam Menjaga Fakta

Strategi Efektif Mengurangi Stunting di Indonesia: Langkah Pemerintah dan Komunitas yang Terbukti

Secara psikologis, perilaku mereka bisa dipahami melalui mekanisme kompensasi simbolik. Ketika seseorang tidak mampu membeli barang mewah, mereka bisa memperoleh semacam kepuasan semu hanya dengan mendekati objek tersebut. Mencoba sepatu mahal, menyentuh bahan baju branded, atau bahkan hanya memandangi tas seharga jutaan rupiah. Semua  itu bisa memunculkan sensasi afektif: rasa puas, rasa “nyaris memiliki”, atau bahkan ilusi sementara tentang keberdayaan.

Ini mirip dengan konsep dalam psikologi perilaku yang disebut vicarious consumption, konsumsi secara tidak langsung, dengan membayangkan diri sebagai konsumen, meski tak benar-benar membeli. Dalam dunia digital, bentuknya adalah scrolling marketplace tanpa check-out. Dalam dunia nyata, wujudnya adalah Rojali dan Rohana yang menjadikan mall sebagai wahana “konsumsi pengalaman”.

Fenomena ini juga berkaitan dengan status aspiratif. Banyak orang datang ke mall bukan karena ingin membeli sekarang, tetapi karena ingin “merasakan dulu atmosfer kemewahan” sebagai bentuk afirmasi identitas. Mereka membayangkan, suatu saat akan mampu membeli barang-barang itu. Dengan berada di sana, mereka merasa sedang mendekat pada versi ideal diri mereka. Sebuah identitas yang lebih mapan, lebih sejahtera, lebih bergengsi. Mall menjadi arena proyeksi masa depan, bukan sekadar tempat jual-beli.

Di sisi lain, perilaku ini juga memperlihatkan sisi ironi dari masyarakat konsumen. Kapitalisme ritel menciptakan ruang terbuka yang mengundang semua orang, tetapi secara ekonomi hanya melayani segelintir yang mampu membeli. Rojali dan Rohana menjadi “penonton tetap” dalam pertunjukan kemewahan yang tak mereka sanggupi. Mereka masuk, melihat, bertanya, mencoba, tapi tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari transaksi. Dalam psikologi ekonomi, ini bisa menimbulkan kecemasan status dan bahkan rasa rendah diri.

Lebih jauh, kehadiran Rojali dan Rohana bisa juga dibaca sebagai bentuk ritual sosial baru. Aktivitas “belanja tapi tidak beli” memberikan struktur waktu bagi banyak orang: pergi ke mall menjadi kegiatan keluarga, ajang pertemuan sosial, atau sekadar hiburan gratis. Mall menawarkan fasilitas yang relatif murah; AC, toilet bersih, ruang bermain anak, bahkan spot swafoto yang instagramable. Maka, fungsi mall bergeser dari pasar ekonomi menjadi ruang publik alternatif.

Secara ekonomi, kehadiran Rojali dan Rohana bisa dianggap tidak menguntungkan. Namun, dari perspektif sosial psikologis, mereka punya kontribusi tak kasat mata. Kehadiran mereka menciptakan keramaian, membentuk atmosfer ramai yang justru menjadi daya tarik mall itu sendiri. Banyak brand tahu bahwa pengunjung yang ramai, meski tidak semua membeli, tetap menjadi strategi visualisasi “tempat ini laku”, yang bisa menarik konsumen sejati. Dalam teori ekonomi perilaku, ini dikenal sebagai efek sosial (social proof); orang terdorong membeli di tempat yang tampak ramai.

Kendati demikian, efek psikologis bagi Rojali dan Rohana sendiri bisa beragam. Beberapa mengalami emosi positif: rasa senang, lega, puas karena bisa “mengakses dunia atas” meski cuma sebentar. Tapi sebagian lain bisa merasa makin frustrasi, terutama jika kunjungan ke mall memperkuat kesenjangan antara keinginan dan kenyataan. Frustrasi ini bisa berkembang menjadi impulsif purchase di kemudian hari. Saat seseorang memaksakan pembelian demi mengobati rasa malu atau ingin “membuktikan diri”.

Fenomena ini juga terkait dengan norma sosial baru yang diproduksi oleh budaya konsumen, yaitu gagasan bahwa belanja adalah bentuk validasi diri. “Kalau kamu tidak belanja, kamu bukan siapa-siapa” adalah pesan tidak langsung dari iklan, display toko, dan feed media sosial. Dalam kerangka itu, Rojali dan Rohana menjadi korban sistemik dari ekonomi visual. Mereka terseret ke arena yang penuh ilusi, tapi tidak punya cukup peluru untuk bermain.

Lalu, apakah perilaku mereka irasional? Tidak juga. Dalam kerangka psikologi ekonomi, manusia tidak selalu bertindak demi untung-rugi finansial. Mereka seringkali bertindak demi kenyamanan emosional, penerimaan sosial, dan harapan akan kemungkinan masa depan yang lebih baik. Jadi, meski secara praktis mereka “mengganggu” staf toko karena tidak membeli, secara psikis mereka sedang melakukan proses pembentukan makna terhadap hidup dan harapan mereka.

Masyarakat, khususnya kelas menengah yang rentan, perlu difasilitasi untuk memahami batas antara konsumsi simbolik dan kesejahteraan nyata. Literasi finansial bukan hanya soal mengatur uang, tapi juga tentang mengelola ekspektasi, keinginan, dan tekanan sosial. Orang harus belajar bahwa tidak memiliki barang mahal bukan berarti gagal. Sebaliknya, hidup sederhana tapi terencana adalah bentuk kemapanan sejati.

Pihak pengelola mall dan brand juga bisa berperan dengan menciptakan ruang inklusif. Mungkin tidak semua orang bisa membeli, tapi mereka bisa merasakan pengalaman yang bermakna. Misalnya, toko-toko bisa menyediakan informasi edukatif, ruang interaksi tanpa tekanan membeli, atau sekadar hospitality yang ramah. Rojali dan Rohana bukan musuh. Mereka adalah bagian dari lanskap sosial yang hidup, yang perlu dipahami alih-alih dicemooh.

Rojali dan Rohana adalah simbol zaman: mereka hadir sebagai refleksi dari harapan, keterbatasan, dan realitas ekonomi kita. Mereka bukan sekadar pengunjung mall yang “cuma numpang nanya”, tapi potret masyarakat yang terus mencari celah untuk ikut merasakan sedikit kemewahan, meski hanya lewat pandangan mata dan lamunan semu. Kita bisa menertawakan mereka, tapi jangan lupa, kita mungkin pernah jadi bagian dari mereka. Barangkali kita masih sering mengulanginya hingga kini, hanya dengan cara yang lebih tersembunyi.

Tags: BelanjaIlusiKemewahanKonsumsiMallPsikologis
Plugin Install : Subscribe Push Notification need OneSignal plugin to be installed.

Related Posts

Disinformasi
Belajar

Mengatasi Disinformasi: Peran Publik, Media Sosial, dan Pemerintah dalam Menjaga Fakta

22 Oktober 2025
Stunting
Opini

Strategi Efektif Mengurangi Stunting di Indonesia: Langkah Pemerintah dan Komunitas yang Terbukti

19 Oktober 2025
Mikrofon
Opini

Diplomasi di Era Mikrofon Terbuka: Belajar dari Momen Prabowo dan Etika Pemimpin Modern

15 Oktober 2025
hukuman
Opini

Ketegasan Versus Kelembutan: Menimbang Hukuman Merokok di Sekolah dan Refleksi Pendidikan Islam

15 Oktober 2025
Rehat
Gaya Hidup

7 Tanda Kamu Butuh Rehat, Bukan Kopi Tambahan

11 Oktober 2025
Restorative Justice
Opini

Ketika Restorative Justice Belum Benar-Benar Adil

10 Oktober 2025
Next Post
Kelompok Wanita Tani Harum Madu Bagikan Bibit Tanaman di Hari Tani Nasional

KWT Harum Madu Mekarsari Rayakan Hari Tani Nasional dengan Membagikan Bibit

  • Ilustrasi Surat Edaran - PIxabay/Katamaheen

    9 Langkah Menuju ‘Gapura Panca Waluya’, Berikut Isi Surat Edaran Pemda Jabar

    723 shares
    Share 289 Tweet 181
  • Jadwal dan Link Live Streaming Semifinal Denmark Open 2025

    665 shares
    Share 266 Tweet 166
  • 10 Website Gratis untuk Download Jurnal Ilmiah

    719 shares
    Share 288 Tweet 180
  • Kebangkitan Kembali Tradisi: Pasar Seni ITB 2025 Sedot Lebih dari 200.000 Pengunjung

    654 shares
    Share 262 Tweet 164
  • Simak! Begini Cara Menulis Footnote pada Makalah atau Jurnal

    662 shares
    Share 265 Tweet 166
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Forum

© 2025 All Right Reserved Intiporia - Intip Dunia yang Menyenangkan

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kirim Artikel
  • Fotoporia
  • Hubungi Kami

© 2025 All Right Reserved Intiporia - Intip Dunia yang Menyenangkan