Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI), Fawwaz Farhan Farabi, mengungkap adanya tekanan yang ia dan timnya alami usai mengajukan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan uji formil ini teregistrasi dengan nomor perkara 56/PUU-XXIII/2025.
Dalam sidang yang digelar Senin (23/6/2025) di Gedung MK, Jakarta, Fawwaz menjelaskan bahwa tekanan bermula saat ia mengadakan konsolidasi nasional di kampus UI pada pertengahan April 2025. Dalam acara itu, Dandim 0508/Depok, Kolonel Inf Imam Widhiarto hadir langsung dan turut mengikuti diskusi.
“Tekanan jelas kami rasakan, mungkin terutama kalau dari saya sama rekan, pas lagi mengadakan konsolidasi nasional, pas itu datang kemudian TNI ikut diskusi bareng, kan ramai itu di berita,” ujar Fawwaz saat ditemui usai sidang, dikutip dari Kompas.com, Selasa, 1 Juli 2025.
Selain itu, Fawwaz mengungkapkan bahwa seorang wakil dekan Fakultas Hukum UI juga sempat menghubunginya dan meminta nomor-nomor kontak para pemohon lainnya.
“Terus dari saya pribadi, kebetulan kantor ibu saya didatangi, ditanyain alamat rumah dari Babinsa yang mencari alamat rumah,” katanya dalam keterangan yang diterima wartawan.
Tekanan tidak hanya datang secara langsung, tetapi juga melalui media sosial. Para pemohon disebut sebagai “antek asing” dan “terlalu idealis”.
Namun, Fawwaz menegaskan bahwa hal itu tidak akan menyurutkan langkah mereka. “Kita tahu sih ketika mengambil langkah ini ada risiko yang dihadapi, apakah mengganggu? Sedikit banyaknya mungkin ada rasa tidak aman, kenapa-napa segala hal. Tapi hadapi aja,” ucapnya.
Senada dengan itu, ahli hukum tata negara sekaligus pemohon dalam perkara yang sama, Bivitri Susanti, turut menyoroti tekanan yang terjadi terhadap para mahasiswa dan organisasi sipil.
“Mulai dari adanya tekanan pada adik-adik kita mahasiswa yang menjadi pemohon, sampai dengan mengatai Ornop (Organisasi Non-Pemerintah) sebagai antek asing,” kata Bivitri. Ia menilai kondisi ini sebagai indikator nyata pelemahan demokrasi di Indonesia.
Meski demikian, perjuangan mereka berujung pada penolakan Mahkamah Konstitusi. Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa lima perkara terkait uji formil UU TNI, yaitu nomor 55, 58, 66, 74, dan 79/PUU-XXIII/2025, tidak dapat diterima.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan dalam pertimbangannya bahwa para pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak menunjukkan keterlibatan aktif dalam proses pembentukan undang-undang tersebut.
“Mereka hanya tahu dari pemberitaan media dan tidak pernah mengikuti diskusi atau seminar terkait pembentukan Undang-Undang TNI,” jelas Saldi Isra.
Padahal, dalil utama yang dibawa para pemohon adalah dugaan pelanggaran terhadap asas keterbukaan dalam proses legislasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Sebagian besar pemohon merupakan mahasiswa dari Universitas Indonesia dan Universitas Batam, serta satu orang dari kalangan karyawan swasta.
Meski permohonan ditolak, sorotan publik terhadap tekanan terhadap kebebasan akademik dan demokrasi tetap mengemuka, memperlihatkan bahwa gugatan hukum juga membuka ruang evaluasi atas praktik-praktik kekuasaan yang dinilai mengancam ruang sipil dan perguruan tinggi.

















