Nama Kiansantang di Purwakarta tidak hanya hidup dalam legenda Sunda, tetapi juga dalam sejarah perjuangan nyata di masa revolusi kemerdekaan. Di masa itu, semangat Prabu Kiansantang — sosok legendaris yang dikenal gagah berani dan teguh dalam keyakinannya — seolah menjelma dalam tubuh para pejuang yang tergabung dalam Brigade III Kiansantang. Mereka adalah bagian dari generasi muda yang mempertahankan Indonesia di masa-masa genting, ketika Purwakarta menjadi salah satu titik penting dalam perang kemerdekaan di Jawa Barat.
Dikutip dari tulisan R.M.A. Ahmad Said Widodo dalam artikel “Sejarah Alun-Alun Kiansantang Purwakarta dan Brigade III Kiansantang di Purwakarta”, nama Kiansantang mulai melekat pada satuan militer ini karena semangatnya dianggap mencerminkan karakter perjuangan rakyat Sunda: berani, pantang menyerah, dan berlandaskan iman. Brigade III Kiansantang merupakan bagian dari Divisi Siliwangi — divisi yang dikenal tangguh dalam berbagai pertempuran mempertahankan wilayah Jawa Barat dari ancaman pasukan kolonial Belanda dan agresi militer setelah Proklamasi 1945.
Markas besar Brigade III ini sempat berpindah-pindah karena situasi medan perang yang dinamis, namun Purwakarta menjadi salah satu titik strategisnya. Letak geografis yang berada di antara Bandung dan Karawang menjadikan Purwakarta penting secara militer: mudah diakses, namun cukup terlindung oleh pegunungan seperti Burangrang dan Parang. Dalam banyak catatan lisan dan arsip lokal, disebutkan bahwa pasukan Kiansantang kerap menggunakan jalur perbukitan Purwakarta sebagai rute gerilya, memanfaatkan medan alam yang sulit dijangkau musuh.
Bagi masyarakat Purwakarta, keberadaan Brigade III Kiansantang bukan sekadar catatan sejarah militer, tapi juga bagian dari identitas daerah. Mereka bukan hanya pasukan bersenjata, melainkan simbol keberanian rakyat yang mempertaruhkan hidupnya demi kemerdekaan. Banyak di antara para pejuangnya adalah pemuda desa, guru, petani, hingga santri yang memilih angkat senjata. Mereka bukan tentara profesional, tetapi berjuang dengan keyakinan penuh: bahwa tanah kelahiran mereka harus bebas dari penjajahan.
Peran Brigade III Kiansantang di Purwakarta tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik dan sosial saat itu. Setelah Agresi Militer Belanda I dan II, Jawa Barat menjadi wilayah yang rawan karena perpecahan dan munculnya berbagai kelompok bersenjata. Brigade Kiansantang turut menjaga stabilitas daerah, terutama di kawasan pedalaman Purwakarta, Wanayasa, dan Tegalwaru. Mereka menertibkan jalur logistik, melindungi penduduk, serta menjadi penghubung antara pasukan Divisi Siliwangi dan pemerintah sipil di daerah.
Nama besar Kiansantang kemudian diabadikan bukan hanya sebagai kenangan militer, tetapi juga sebagai penghormatan. Ketika pemerintah daerah menetapkan nama Alun-Alun Kiansantang, itu bukan kebetulan — melainkan bentuk penghargaan terhadap semangat perjuangan brigade tersebut. Dengan begitu, ruang publik utama di jantung kota Purwakarta kini menjadi simbol dari dua kekuatan besar: spiritualitas (melalui tokoh legendaris Prabu Kiansantang) dan patriotisme (melalui Brigade III Kiansantang).
Alun-Alun Kiansantang hari ini menjadi ruang terbuka yang menampung berbagai aktivitas warga: dari upacara kenegaraan, pawai budaya, hingga sekadar tempat bersantai keluarga di sore hari. Namun bagi mereka yang tahu sejarahnya, tempat itu menyimpan gema masa lalu — tempat di mana para pejuang pernah berkumpul, dan dari mana semangat kebebasan pernah dikobarkan. Setiap langkah di atas tanah alun-alun itu seakan menyentuh bayangan masa perang, ketika rakyat dan tentara bersatu dalam satu tekad mempertahankan kemerdekaan.
Dalam konteks sejarah lokal, keberadaan Brigade III Kiansantang juga menegaskan bahwa Purwakarta bukan sekadar daerah administratif kecil di antara Bandung dan Karawang. Ia punya peran besar dalam sejarah militer dan politik Jawa Barat. Dari sinilah muncul narasi bahwa Purwakarta bukan hanya “kota istirahat” bagi pelancong, tetapi juga “kota perjuangan” yang menorehkan babak penting dalam perjalanan bangsa.
Kini, nama-nama pejuang dari Brigade III Kiansantang memang tak banyak lagi dikenal secara luas. Namun semangat mereka hidup dalam bentuk yang berbeda. Setiap kali upacara bendera digelar di Alun-Alun Kiansantang, setiap kali lagu kebangsaan dinyanyikan oleh anak sekolah di bawah naungan Gunung Burangrang, sejarah itu seolah berulang — bahwa perjuangan, doa, dan keberanian adalah fondasi sejati Purwakarta.
Menariknya, seperti dicatat oleh R.M.A. Ahmad Said Widodo, penamaan Alun-Alun Kiansantang juga menjadi simbol rekonsiliasi antara masa lalu dan masa kini. Ia bukan hanya penghormatan bagi tokoh legenda atau pasukan perang, tapi juga ajakan untuk mengingat nilai-nilai dasar: kesetiaan pada tanah air, pengabdian tanpa pamrih, dan kebersamaan antarwarga. Di tengah modernisasi, nilai-nilai itu tetap menjadi jiwa dari kota kecil yang terus tumbuh ini.
Sejarah, pada akhirnya, bukan sekadar deretan tanggal dan peristiwa. Ia adalah napas yang menyertai kehidupan sebuah kota. Purwakarta dengan Alun-Alun Kiansantangnya menjadi bukti bahwa ruang publik dapat menjadi monumen hidup — tempat sejarah tidak hanya dihafalkan, tapi dirasakan setiap hari.