Ketika anak-anak zaman sekarang lebih hafal cheat game daripada Pancasila, dan lebih cepat meniru tren TikTok daripada mendengar wejangan orang tua, keresahan muncul: Generasi ini mau dibawa ke mana?
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi datang membawa solusi: barak TNI dan Polri untuk anak-anak nakal. Dedi Mulyadi, mengusulkan skema “pembinaan” berbasis disiplin semi-militer untuk siswa yang dianggap nakal. Anak-anak ini akan “dititipkan” ke barak TNI atau Polri selama enam bulan hingga satu tahun.
Di sana, mereka tetap berstatus pelajar dengan tambahan jadwal ala calon komando: bangun pukul 04.00, tidur pukul 20.00, olahraga pagi, sarapan teratur, bahkan akan dilakukan pembiasaan puasa Senin-Kamis, dan ngaji ba’da Magrib bagi muslim. Jika sudah berubah dan menunjukkan kelakuan “baik”, anak akan dikembalikan kepada orang tuanya. Seperti paket kilat yang sudah diperbaiki oleh logistik negara.
Tujuannya, kata Dedi, untuk mengubah paradigma anak-anak yang dianggap “tidak kompetitif”. Tapi pertanyaan kritisnya: sejak kapan kompetensi dibentuk lewat kasur yang dirapikan dan piring yang harus dicuci sebelum jam tujuh pagi? Apakah bangsa ini kekurangan tempat konseling sampai akhirnya coping mechanism-nya adalah “ayo kita militerkan semuanya”?
Sejumlah kritik bermunculan, mempertanyakan apakah penanganan anak nakal cukup dengan pengasramaan bernuansa militer. Padahal, kalau kita tarik napas dan membuka buku sosiologi dasar, jawabannya sudah lama tertulis.
Anak yang Rusak, Tapi Sistem yang Longgar?
Menurut Kartini Kartono (2011), keluarga adalah fondasi primer perkembangan anak. Kalau rumah tak memberikan kehangatan, kontrol, dan teladan, maka anak akan tumbuh mencari bentuknya sendiri—kadang lewat jalan yang tidak ideal.
Sudarsono (2012) menambahkan bahwa keluarga adalah lingkungan terdekat yang bertugas mendewasakan anak. Pendidikan pertama, pelajaran moral pertama, dan definisi cinta pertama—semua datang dari rumah.
Tapi ketika rumah mulai hilang perannya, seharusnya sekolah mengambil alih peran itu. Menurut Ary (2010), pendidikan adalah proses sosialisasi anak dalam lingkungan sosial. Di sana, seharusnya anak belajar nilai kritis, kreatif, dan sportif. Tapi apa daya, ketika sekolah hanya mengejar nilai dan ranking, ruang untuk penguatan karakter jadi sekadar jargon di dinding kelas.
Dan akhirnya, anak-anak juga berinteraksi dengan masyarakat luas yang seringkali tidak ramah. Menurut Sudarsono (2011), masyarakat kini sarat dengan kekerasan, pelecehan, dan kriminalitas. Di tengah lingkungan seperti ini, anak-anak kita dipaksa bertahan—dengan atau tanpa bimbingan.
Lalu, muncul pertanyaan penting: Kenapa ketika semuanya gagal, justru anak-anak yang dikirim ke barak? Kenapa bukan sistemnya yang diperbaiki dulu?
Barak bukanlah solusi jangka panjang. Ia hanyalah ruang netral—tempat “reset” sementara yang bisa saja menakutkan, tapi belum tentu mendidik. Karakter tidak dibentuk oleh seragam loreng, tetapi oleh relasi yang sehat, sistem nilai yang kuat, dan pendidikan yang manusiawi.
Pendidikan Bukan Tentang Patuh, Tapi Tumbuh
Bangsa ini sudah terlalu lama salah fokus. Kita sibuk menertibkan anak, tapi lupa memperbaiki ruang tumbuhnya. Kita menuntut sopan santun dari mereka, tapi memberi contoh kekerasan, korupsi, dan pembiaran.
Kita ingin mereka cinta tanah air, tapi bahkan tidak memberi mereka kesempatan mengenal bangsanya lewat pendidikan yang kontekstual dan memerdekakan.
Sistem pendidikan kita seharusnya mulai dibenahi bukan dari kurikulum baru tiap menteri ganti jabatan, tetapi dari filsafat pendidikan yang berpihak pada anak. Pendidikan harus membentuk individu yang berpikir, berdaya, dan berempati—bukan sekadar patuh dan takut.
Keluarga perlu dilibatkan aktif dalam sistem pendidikan. Sekolah harus jadi ruang dialog, bukan sekadar ruang absen dan tugas. Dan masyarakat? Harus jadi panggung pembelajaran sosial, bukan ladang intimidasi.
Barak bukan tempat menyelesaikan kenakalan remaja. Barak adalah cermin bahwa kita telah gagal menangani masalahnya sejak awal.
Jadi sebelum kita sibuk mengatur jam tidur anak di barak, mari kita tanyakan dulu: sudahkah kita sebagai orang dewasa benar-benar hadir, mendengar, dan mendidik mereka—di rumah, di sekolah, dan di masyarakat?
Kalau jawabannya belum, mungkin yang perlu masuk barak bukan anak-anak, tapi sistem kita sendiri.***