Sebagai mahasiswa fresh graduate, kita sering kali terjebak di tongkrongan atau grup WhatsApp dengan mahasiswa yang berasal dari generasi lebih tua.
Di beberapa kampus, memang ada kebijakan yang menerima banyak mahasiswa dari kalangan ini, sehingga interaksi dengan mereka menjadi hal yang lumrah.
Masalahnya, obrolan mereka? Ah, sering kali terasa seperti kaset rusak yang muter di era yang sama, tanpa fitur skip atau fast forward.
Mahasiswa Zaman Dulu vs Zaman Sekarang
Bayangkan: kita duduk di warung kopi langganan, mencoba menikmati es kopi susu kekinian, lalu tiba-tiba salah satu senior buka suara, “Dulu, waktu aku masuk kampus, semuanya beda. Mahasiswa zaman sekarang tuh gampang banget ngeluh. Dulu aku kuliah sambil kerja, sambil organisasi, sambil revolusi…” Lah, kalau revolusi beneran, kenapa sekarang masih sibuk bahas ini?
Obrolan semacam ini biasanya disusul dengan keluhan khas, “Mahasiswa zaman sekarang terlalu lembek. Kurang tangguh. Kebanyakan drama!” Seolah-olah kita ini semata-mata spesies rebahan yang kerjanya cuma bikin Instastory sambil nunggu Shopee PayLater jatuh tempo.
Padahal, realitanya? Skripsi tetap nggak jalan meskipun sudah diterawang berkali-kali, magang dibayar pakai ‘pengalaman’, dan HRD masih saja nanya ‘pengalaman kerja’ bahkan untuk posisi entry level.
Ditambah, kita masih harus pura-pura sehat mental di depan orang tua biar nggak diceramahi tentang ‘zaman Bapak dulu’.
Grup WhatsApp Kampus: Sarang Obrolan Seksisme dan Stiker Tak Senonoh
Yang lebih bikin fresh graduate risih, obrolan mahasiswa kolot ini nggak cuma terjadi di tongkrongan, tapi juga merajalela di grup WhatsApp kelas atau organisasi. Mereka sering mendominasi diskusi, bahkan di topik ringan sekalipun.
Mulai dari politik kampus, kritik terhadap budaya digital mahasiswa zaman sekarang, sampai obrolan yang nggak seharusnya—terutama ketika pembahasannya mulai menyerempet seksisme, stereotip gender yang kuno, atau bahkan pelecehan verbal yang dibumbui sticker tak senonoh.
Misalnya, ketika seorang mahasiswi mengirim foto bukti pembayaran tugas kelompok di grup, bukannya dapat respons “Makasih ya, udah transfer!”, malah ada yang nyeletuk, “Wah, cantik juga ya kalau nggak pakai masker, kapan nih diajak jalan?”
Kalau direspon dingin? Dibilang sombong. Kalau nggak direspon? Langsung muncul sticker nggak senonoh yang bikin suasana makin nggak nyaman. Atau ketika obrolan tiba-tiba lompat ke topik pernikahan, mendadak ada yang bilang, “Udah siap nikah belum? Kalau belum, sini aku bimbing biar nggak kaget malam pertama!” yang disusul emoji ngakak dan guyonan lain yang entah kenapa selalu ada unsur ‘jorok’-nya.
Kalau ditegur? Dibilang bercanda. Kalau dibiarkan? Nanti ada yang ngeluh kalau ‘zaman sekarang terlalu gampang tersinggung’.
Nostalgia Tidak Selalu Menarik
Belum lagi mereka ini punya hobi nostalgia berlebihan. “Dulu tuh acara kampus lebih seru. Ospek lebih mendidik! UKM lebih solid! Maba lebih sopan!” Seakan-akan masa lalu adalah zaman keemasan dan kita hanyalah sekumpulan pemalas tanpa arah.
Padahal, kalau mereka mau jujur, zaman dulu pun banyak mahasiswa yang datang ke kampus cuma buat main kartu remi di kantin dan menunda skripsi sampai dosen pembimbing pensiun.
Padahal, tiap generasi pasti punya tantangannya sendiri. Mahasiswa dulu sibuk demo di jalanan, mahasiswa sekarang sibuk demo harga seblak di aplikasi ojol. Dulu sibuk menulis pamflet protes, sekarang sibuk me-repost unggahan quotes panjang di Tiktok.
Dulu menyatakan cinta lewat surat bertinta biru, sekarang cukup dengan ‘Typo dikit, aku blok’ di WhatsApp. Intinya?
Bentuknya beda, tapi esensinya tetap sama: berusaha bertahan hidup di tengah ketidakpastian dunia kampus dan dunia kerja.
Jadi, wahai para mahasiswa kolot, coba update sedikit topik pembicaraannya. Bukannya kita nggak menghargai pengalaman kalian, tapi percayalah, fresh graduate juga sudah cukup pusing memikirkan Kapan Nikah, Kapan Dapat Kerja, dan Kapan Bisa Punya Rumah Tanpa Cicilan 30 Tahun. Kalau bisa, mari ngobrol soal solusi, bukan sekadar keluhan.
Atau minimal, jangan ganggu waktu ngopi dan chat kami dengan nostalgia berkepanjangan dan komentar seksis. Sticker WhatsApp juga ada banyak, Pak, Bu. Pilih yang sopan, ya. Deal?
***