Stunting masih menjadi tantangan besar yang dihadapi Indonesia hingga saat ini. Kondisi kekerdilan pada anak ini disebabkan oleh kekurangan gizi kronis sejak masa kehamilan hingga usia dua tahun. Dampaknya tidak hanya terlihat pada postur tubuh yang lebih pendek, tetapi juga pada kemampuan berpikir, prestasi belajar, bahkan produktivitas di masa depan. Anak yang mengalami stunting memiliki risiko lebih tinggi terhadap penyakit tidak menular dan kesulitan bersaing di dunia kerja.
Meski begitu, upaya Indonesia dalam menurunkan angka stunting menunjukkan hasil positif. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024, prevalensi stunting nasional turun menjadi 19,8%, dibandingkan 21,5% pada tahun sebelumnya. Angka ini menandai kemajuan signifikan, namun target ambisius pemerintah untuk menekan stunting hingga 14% pada tahun 2024 masih menjadi pekerjaan besar yang menuntut kerja sama semua pihak.
Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting sebagai pedoman utama. Di dalamnya terdapat strategi komprehensif yang menekankan konvergensi antara intervensi gizi spesifik — seperti pemberian suplemen zat besi, vitamin, dan makanan tambahan untuk ibu hamil dan balita — serta intervensi gizi sensitif, meliputi penyediaan air bersih, sanitasi, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi keluarga. Fokus utama diarahkan pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), masa paling krusial dalam pembentukan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Salah satu kunci sukses di lapangan adalah penguatan peran Posyandu dan kader kesehatan lokal. Melalui kunjungan rutin, pemantauan berat dan tinggi badan, serta edukasi gizi, para kader menjadi ujung tombak deteksi dini stunting di desa-desa. Inisiatif ini terbukti efektif di sejumlah daerah seperti Jawa Barat, di mana kegiatan Posyandu aktif dan pelatihan kader secara berkala membantu mempercepat penurunan angka stunting.
Selain itu, pemerintah juga meluncurkan inovasi terbaru melalui program makanan bergizi gratis bagi anak sekolah dan ibu hamil yang direncanakan pada 2025.
Program ini diharapkan dapat menjamin akses gizi seimbang, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah. Dengan dukungan teknologi digital, sistem pemantauan pertumbuhan anak kini juga dilakukan secara real-time melalui aplikasi e-PPGBM, yang memungkinkan tenaga kesehatan melakukan evaluasi lebih cepat dan akurat.
Namun, peran masyarakat tetap menjadi fondasi terpenting. Di berbagai daerah, komunitas lokal berinisiatif menciptakan solusi berbasis sumber daya yang ada. Program Dapur Sehat di Nusa Tenggara Timur, misalnya, mengajarkan keluarga memanfaatkan bahan pangan lokal seperti ikan laut, telur, dan sayuran hijau sebagai sumber protein berkualitas tinggi. Sementara itu, kelompok ibu-ibu PKK aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kebersihan lingkungan, air minum layak, serta cara menyiapkan makanan bergizi dengan biaya terjangkau.
Lembaga internasional seperti UNICEF, WHO, dan WFP juga turut berperan dalam memberikan pendampingan teknis dan pelatihan bagi tenaga kesehatan di daerah, memperkuat kolaborasi lintas sektor yang selama ini menjadi kunci keberhasilan. Tidak hanya itu, keterlibatan dunia usaha melalui program tanggung jawab sosial (CSR) turut membantu menyediakan fasilitas air bersih dan pelatihan gizi bagi masyarakat pedesaan.
Meski angka stunting menurun, tantangan yang tersisa masih besar. Ketimpangan antarwilayah, rendahnya literasi gizi keluarga, dan keterbatasan tenaga kesehatan di daerah terpencil masih perlu mendapat perhatian. Diperlukan strategi yang lebih adaptif, berbasis data, dan menjangkau masyarakat paling rentan agar tidak ada anak yang tertinggal.
Mengurangi stunting bukan sekadar urusan pemberian makanan bergizi, tetapi juga tentang membangun kesadaran kolektif akan pentingnya gizi, kebersihan, dan pendidikan. Pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan masyarakat harus berjalan seiring menciptakan perubahan berkelanjutan. Dengan kolaborasi nyata dan konsistensi kebijakan, Indonesia memiliki peluang besar untuk melahirkan generasi bebas stunting — generasi sehat, cerdas, dan siap mewujudkan Indonesia Emas 2045.