Pernah nggak, gara-gara kesal sama layanan ojek online, lalu kamu bikin status di media sosial dengan kalimat: “Driver ojol ini parah banget, nggak becus kerja!”? Atau mungkin pernah asal komen di postingan teman dengan kata-kata yang agak nyelekit?
Nah, hati-hati. Hal-hal yang kelihatannya sepele itu bisa saja masuk ke ranah hukum, karena dunia digital kita tidak lepas dari payung hukum yang disebut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Nomor 11 Tahun 2008 jo. UU Nomor 19 Tahun 2016
UU ITE ini mengatur banyak hal, mulai dari transaksi elektronik sampai soal ujaran kebencian, pencemaran nama baik, hingga penyebaran hoaks. Salah satu pasalnya yang sering jadi sorotan adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Artinya apa? Ya, sekadar menuliskan kalimat kasar atau menjatuhkan orang lain di media sosial bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Ancaman hukumannya tidak main-main: pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00* (Pasal 45 ayat (3) UU ITE).
Coba bayangkan, cuma karena emosi sesaat bikin status atau komentar, bisa-bisa kita harus berurusan dengan polisi.
Sepele, tapi Bisa Jadi Bumerang
Kehidupan kita sehari-hari kini hampir tidak bisa lepas dari media sosial. WhatsApp, Facebook, Instagram, TikTok, sampai Twitter/X sudah jadi bagian dari rutinitas. Masalahnya, semakin mudah kita mengekspresikan pendapat, semakin besar pula risiko ucapan kita disalahartikan atau dianggap melanggar hukum.
Bayangkan kasus fiksi ini:
Di grup WhatsApp RT, seorang anggota menulis:
“Pak RT kerjanya cuma foto-foto doang, nggak ada aksi nyata.”
Awalnya semua orang menanggapi dengan emotikon tertawa. Tapi Pak RT yang membaca merasa tersinggung dan menganggap ucapannya mencemarkan nama baik. Karena merasa dirugikan, ia melaporkan hal itu ke kepolisian. Hasilnya? Si penulis pesan bisa dipanggil sebagai terlapor dengan dugaan melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Kasus ini sederhana, tapi cukup menggambarkan betapa obrolan yang kita anggap biasa, apalagi di ruang digital, bisa berubah menjadi persoalan hukum yang serius.
Hal serupa juga bisa terjadi di Instagram. Misalnya, kamu iseng bikin meme tentang teman kantor yang datang telat melulu, lalu mengunggahnya dengan caption: “Inilah karyawan teladan, datang jam makan siang, pulang paling sore.” Kalau temanmu merasa dipermalukan, ia punya dasar hukum untuk melaporkanmu.
Bukan Hanya Pencemaran Nama Baik
UU ITE tidak hanya soal pencemaran nama baik. Ada juga ketentuan yang mengatur soal penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga penyebaran konten asusila.
Misalnya, Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menyatakan:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
Pasal ini kerap dipakai untuk menindak pelaku penyebar hoaks. Jadi, kalau kita asal meneruskan pesan berantai tentang lowongan kerja palsu atau kabar bencana yang tidak jelas sumbernya, itu pun bisa dijerat hukum.
Begitu juga dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang distribusi konten yang melanggar kesusilaan. Mengirimkan gambar atau video tidak senonoh lewat DM sekalipun bisa kena pasal.
Kasus Nyata yang Mengguncang
Sudah banyak contoh kasus nyata terkait UU ITE. Beberapa tahun lalu, ada seorang ibu rumah tangga yang dilaporkan karena menulis keluhan di Facebook tentang layanan rumah sakit. Ada juga pegawai swasta yang ditangkap gara-gara mengunggah komentar bernada menghina pejabat publik.
Kasus-kasus ini membuktikan bahwa ruang digital bukanlah “dunia tanpa hukum”. Setiap klik, setiap status, setiap komentar, semuanya bisa dijadikan barang bukti di pengadilan.
Bijak dalam Dunia Digital
Lantas, apakah ini berarti kita tidak boleh berpendapat di media sosial? Tentu saja boleh. Indonesia adalah negara demokrasi, dan kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi. Namun, kebebasan itu ada batasnya, yakni sepanjang tidak melanggar hak orang lain.
Caranya sederhana:
1. Pikir dulu sebelum mengetik. Tanyakan pada diri sendiri, apakah kalimat ini akan melukai orang lain?
2. Gunakan bahasa yang sopan. Kritik boleh, tapi tetap dalam koridor etika.
3. Jangan mudah terpancing emosi. Kadang, satu komentar bisa memicu keributan panjang.
4. Hindari menyebarkan info yang belum jelas kebenarannya. Verifikasi dulu sebelum klik “share”.
Pada akhirnya, dunia digital adalah cermin dari perilaku kita. Kalau kita terbiasa berkata kasar atau sembarangan di dunia nyata, hal itu bisa terbawa ke dunia maya. Bedanya, di dunia maya jejak digital sulit dihapus dan bisa digunakan sebagai alat bukti hukum.
UU ITE memang sering diperdebatkan, ada yang menilai terlalu karet, ada pula yang menganggapnya perlu untuk menertibkan dunia digital. Apa pun itu, satu hal yang jelas: hukum ada untuk melindungi kita semua. Jadi, daripada menyesal di kemudian hari, lebih baik berhati-hati sejak sekarang.
Karena sekali klik, bisa saja mengubah kita dari netizen biasa menjadi tersangka. Dan itu bukan lagi sekadar cerita di berita—itu bisa jadi kenyataan.

















