Sa’id bin Zaid adalah salah satu dari sepuluh sahabat Nabi Muhammad SAW yang dijamin masuk surga (al-‘Asyrah al-Mubasysyirin bil-Jannah). Meski namanya tidak sepopuler Abu Bakar atau Umar bin Khattab, tetapi peran dan kontribusinya dalam sejarah Islam sangat besar. Ia dikenal sebagai pribadi yang tawadhu (rendah hati), pemberani, dan setia pada kebenaran.
Sa’id bin Zaid berasal dari suku Quraisy Bani Adi, suku yang sama dengan Umar bin Khattab. Ia adalah anak dari Zaid bin Amr bin Nufail, seorang hanif yang menolak menyembah berhala dan telah memeluk tauhid sebelum datangnya Islam. Ayah Sa’id dikenal sebagai pencari agama yang lurus (hanif), dan sering berkata:
“Aku tidak menyembah Lata dan Uzza. Aku hanya menyembah Tuhan Ibrahim dan Ismail.”
Rasulullah SAW bersabda tentang ayahnya:
“Dia (Zaid bin Amr) akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai satu umat tersendiri.”
— (HR. Al-Bukhari, no. 3611)
Masuk Islam dan Keistimewaan
Sa’id bin Zaid termasuk dari generasi pertama yang memeluk Islam, bahkan sebelum Nabi Muhammad SAW masuk ke rumah Darul Arqam. Ia masuk Islam bersama istrinya, Fatimah binti Al-Khattab, yang juga merupakan saudara perempuan Umar bin Khattab.
Pasangan Sa’id dan Fatimah turut andil dalam momen penting ketika Umar bin Khattab masuk Islam. Ketika Umar hendak membunuh Nabi Muhammad, ia terlebih dahulu menemui rumah Fatimah dan Sa’id yang saat itu sedang membaca Al-Qur’an. Peristiwa itu menjadi titik balik hidayah bagi Umar.
Keikutsertaan dalam Perang
Sa’id bin Zaid turut serta dalam berbagai peperangan bersama Rasulullah SAW. Meski ia tidak ikut Perang Badar, itu bukan karena menolak, melainkan karena mendapat tugas khusus dari Nabi untuk memantau pergerakan Quraisy. Namun, Rasulullah tetap memberinya bagian dari harta rampasan perang dan menganggapnya sebagai peserta Badar.
Ia ikut dalam Perang Uhud, Khandaq, dan peperangan lainnya, menunjukkan keberanian dan keteguhannya dalam membela agama Allah.
Doa yang Mustajab
Salah satu kisah paling terkenal dari Sa’id adalah tentang doanya yang mustajab. Seorang wanita dari Madinah pernah menuduhnya mengambil tanah secara tidak sah. Sa’id pun berkata:
“Ya Allah, jika dia berdusta, maka butakanlah matanya dan matikan dia di tanahnya sendiri.”
Tak lama setelah itu, wanita tersebut menjadi buta, lalu jatuh ke dalam lubang di tanahnya sendiri hingga meninggal dunia. Kisah ini menunjukkan bahwa Allah membela Sa’id dan menjadikan doanya dikabulkan.
Zuhud dan Kesederhanaan
Meski termasuk dalam sepuluh sahabat yang dijamin surga, Sa’id bin Zaid hidup sangat sederhana dan jauh dari ambisi duniawi. Ia tidak pernah mengejar kekuasaan atau kedudukan, bahkan ketika pemerintahan Islam berkembang pesat di masa setelah wafatnya Nabi SAW.
Ia juga terkenal menjauhi fitnah dan konflik, terutama pada masa-masa sensitif seperti fitnah pembunuhan Utsman bin Affan dan perang antara Ali dan Muawiyah.
Wafat dan Warisan
Sa’id bin Zaid wafat pada tahun 51 H / 671 M, dalam usia sekitar 70 tahun. Ia wafat di daerah Al-Aqiq, dekat Madinah, dan jenazahnya dishalatkan oleh Abdullah bin Umar lalu dimakamkan di Jannatul Baqi’, kompleks makam para sahabat mulia.
Sa’id bin Zaid adalah sosok sahabat yang tenang, setia, dan kokoh dalam iman. Ia tidak menonjolkan diri, tetapi ditinggikan derajatnya oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam keheningan perjuangannya, ia menyimpan kemuliaan surga.
Ia menjadi bukti bahwa ketenaran bukanlah syarat kemuliaan, dan bahwa kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih utama daripada popularitas. Namanya akan terus dikenang sebagai salah satu penghuni surga yang dijanjikan semasa hidup.
Sumber dan Referensi:
- Shahih al-Bukhari, no. 3611
- Shahih Muslim, no. 2413
- Sunan At-Tirmidzi, no. 3747
- Ibnu Sa’ad, Thabaqat al-Kubra
- Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah
- Ibnu Hajar, Al-Isabah fi Tamyiz ash-Shahabah
- Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq Al-Makhtum
- Ensiklopedi Sahabat Nabi, Pustaka Al-Kautsar
















