Di ujung timur Indonesia, gugusan surga bernama Raja Ampat perlahan tercabik. Terumbu karang yang selama ribuan tahun membentuk ekosistem paling kompleks di dunia kini dihantam oleh industri. Kapal tongkang tambang nikel melintas, meninggalkan jejak keruh, lumpur, dan ketakutan: bahwa keindahan ini bisa berubah jadi cerita masa lalu. Dan semua ini berpangkal pada satu kesalahan besar manusia: merasa bahwa dunia diciptakan hanya untuknya.
Fenomena ini bukan sekadar soal proyek nikel atau kebijakan investasi semata. Ini adalah buah dari cara berpikir yang disebut antroposentrisme keyakinan bahwa manusia adalah pusat semesta, dan bahwa alam ada semata untuk memenuhi kebutuhannya.
Alam untuk Manusia, Tapi Sampai Sejauh Apa?
Pola pikir antroposentris sudah meresap ke dalam sistem ekonomi dan politik global. Di bawah bendera “pembangunan” dan “efisiensi,” alam diekstraksi tanpa rem. Gunung ditambang, laut disedot, hutan dibakar, semua dengan narasi kemajuan. Namun, apa yang terjadi di Raja Ampat adalah pengingat pahit: alam punya batas, dan ketika batas itu dilanggar, kehancuran bukan lagi ancaman masa depan ia hadir, nyata, di hadapan kita.
Seolah-olah segala sesuatu boleh dikeruk selama mendatangkan profit. Investasi nikel yang diharapkan menopang transisi energi hijau malah memperparah krisis ekologis di daerah sensitif. Ironi ini mencerminkan bagaimana paradigma ekonomi saat ini masih gagal memahami satu prinsip dasar: bahwa alam tidak bisa direproduksi seperti barang dagangan.
Daya Rusak Manusia Melebihi Daya Rusak Alam
Bencana ekologis yang timbul bukan karena alam sedang “marah” secara metafisik. Ia lahir karena sistem manusia yang rakus dan tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan.
Dalam sejarahnya, bumi pernah mengalami perubahan besar karena gejala alam — letusan supervolcano, zaman es, hingga asteroid. Tapi kini, perubahan terbesar datang dari manusia itu sendiri.
Istilah Anthropocene, atau zaman geologi di mana manusia menjadi kekuatan dominan yang membentuk bumi, bukan sekadar konsep ilmiah. Ia adalah peringatan bahwa manusia telah menjadi spesies paling merusak dalam sejarah planet ini. Raja Ampat adalah korbannya. Ketika daya rusak manusia melampaui daya pulih alam, kita tak sedang membangun masa depan kita sedang menghancurkannya dengan sadar.
Perusahaan dan Efisiensi yang Keliru
Sebagaimana dalam ilustrasi sebelumnya tentang efisiensi keliru di dunia kerja di mana pengayuh kapal justru dipangkas sementara pimpinan duduk santai bertambah pendekatan terhadap “efisiensi industri” di alam pun mengalami kesalahan serupa. Investasi dipacu, tetapi evaluasi dampak lingkungan diabaikan. Perusahaan tambang diberi karpet merah, tetapi komunitas adat dan nelayan diberi abu.
Perusahaan yang berlindung di balik jargon efisiensi atau “kontribusi terhadap PDB” seringkali lupa bahwa kerusakan ekosistem tidak akan bisa ditebus dengan kompensasi uang. Ekosistem Raja Ampat, misalnya, tak bisa digantikan oleh reklamasi atau CSR. Terumbu karang tidak tumbuh dalam hitungan bulan ia butuh ratusan tahun. Begitu juga dengan keseimbangan populasi laut dan hutan-hutan mangrove yang menopang kehidupan.
Siapa yang Menanggung Biayanya?
Ketika sebuah wilayah seperti Raja Ampat rusak karena pertambangan atau pelayaran industri, siapa yang benar-benar menanggung kerugian? Jawabannya: masyarakat lokal dan generasi mendatang. Komunitas adat yang hidup selaras dengan alam kehilangan sumber pangan, identitas budaya, dan masa depan. Anak cucu hanya akan mengenal Raja Ampat dari foto-foto lama atau brosur pariwisata yang tak lagi mencerminkan kenyataan.
Sementara itu, perusahaan mungkin telah pindah ke lokasi berikutnya, meninggalkan jejak racun dan lubang-lubang kematian ekologis.
Dari Ekonomi Ekstraktif ke Politik Ekologis
Kita tidak bisa menyelesaikan krisis ini hanya dengan pendekatan teknokratik. Dibutuhkan perubahan paradigma, dari ekonomi ekstraktif menuju politik ekologis. Politik yang menjadikan alam sebagai subjek yang setara bukan objek eksploitasi. Politik yang memperhitungkan hak-hak alam, bukan hanya hak investor.
Global Greens Charter sudah lama menyuarakan bahwa pembangunan harus berpijak pada keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis. Prinsip ini sejalan dengan pendekatan political ecology ala Paul Robbins: bahwa konflik ekologis adalah konflik politik antara mereka yang diuntungkan oleh perusakan, dan mereka yang dirugikan olehnya.
Di Raja Ampat, konflik ini nyata: antara perusahaan dan masyarakat adat, antara negara dan ekosistem, antara paradigma lama dan kemungkinan masa depan yang lebih adil.
Tidak Semua Bisa Ditebus dengan Uang
Dalam hidup modern yang serba cepat dan kuantitatif, kita lupa bahwa ada hal-hal yang tak ternilai: udara bersih, laut yang sehat, suara burung di pagi hari. Ini bukan sekadar soal “romantisme alam,” tetapi soal keberlanjutan hidup. Kita tidak bisa makan uang. Kita tidak bisa minum logam nikel. Dan kita tidak bisa mewariskan kehancuran kepada generasi berikutnya atas nama efisiensi atau pertumbuhan.
Alam Bukan Milik Kita, Kita Milik Alam
Jika manusia terus hidup dalam ilusi bahwa dunia diciptakan hanya untuknya, maka kehancuran adalah takdir yang kita pilih sendiri. Raja Ampat seperti banyak tempat lain di bumi bukanlah warisan nenek moyang, tapi titipan untuk anak cucu. Kita tidak punya hak merusaknya atas nama pembangunan, karena pada akhirnya, kita sendirilah yang akan tenggelam bersama kapal yang kita lubangi sendiri.
Mari tinggalkan antroposentrisme yang menyesatkan. Alam bukan sekadar “sumber daya,” ia adalah rumah. Dan rumah tidak boleh dijarah oleh penghuninya sendiri.