Di tengah dunia yang penuh kebisingan baik literal maupun digital, diam dan menyepi bukan lagi sekadar tindakan pasif, melainkan bentuk keberanian. Ia adalah strategi bertahan hidup. Di era keterhubungan permanen, di mana algoritma mendorong kita untuk terus berbicara, berbagi, dan menampilkan emosi secara publik, memilih diam bisa menjadi tindakan yang paling politis dan radikal: politik sunyi.
Diam menyepi itu asik, meski tidak selalu nyaman. Kadang kepala tetap berisik, penuh pertarungan antara ekspektasi, trauma, dan beban narasi kolektif. Namun, diam yang disengaja bukanlah kekosongan. Ia adalah ruang pemulihan, tempat kita menjinakkan suara-suara internal tanpa harus membuktikan diri ke luar. Dalam konteks ini, menyepi adalah praktik kejiwaan yang semakin penting dalam zaman hiperkomunikasi.
Budaya Ekspresif dan Tekanan untuk Bercerita
Kita hidup di era “terapi lewat konten.” Di media sosial, curhat dan pengakuan personal telah menjadi norma baru. Cerita yang dulu hanya dibagikan di ruang terapi atau lingkaran pertemanan kini ditransformasikan menjadi konten siap dikomentari, direspons, bahkan dijadikan tren.
Namun, seperti dikatakan Byung-Chul Han dalam The Burnout Society (2015), keterbukaan yang berlebihan tidak selalu membawa pembebasan. Kadang justru memperkuat tekanan untuk terus menjelaskan diri, bahkan saat luka masih berdarah.
Ada ekspektasi sosial tak tertulis bahwa mereka yang terluka harus berbagi cerita agar dianggap valid. Padahal, tidak semua luka harus dikonsumsi publik. Tidak semua proses penyembuhan butuh panggung. Berbagi cerita belum tentu mendapatkan umpan balik yang baik. Kadang malah membuka ruang baru untuk penghakiman, simplifikasi masalah, atau toksisitas disguised as empathy.
Politik Menyepi: Resistensi Sunyi terhadap Kultur Over-sharing
Menyepi bukan tindakan individualistik apolitis. Dalam konteks tertentu, ia bisa dibaca sebagai resistensi terhadap ekspektasi neoliberal tentang produktivitas emosi. Sistem hari ini menuntut kita untuk selalu bisa “berfungsi”, bahkan dalam kesedihan. Kita dituntut untuk segera “sembuh”, kembali “normal”, dan menceritakan proses itu secara inspiratif.
Namun, bagaimana jika seseorang ingin sembuh tanpa bercerita? Bagaimana jika jalan menuju pemulihan tidak linear, tidak komunikatif, tidak visual?
Menyepi adalah hak. Ia bagian dari hak asasi untuk mengelola ruang batin secara mandiri. Diam adalah bentuk otonomi terhadap tubuh dan pikiran kita—terutama di tengah masyarakat yang seringkali menganggap “tidak aktif” sebagai “tidak ada”.
Kesehatan Mental dan Kritik terhadap Narasi Self-Help Populer
Narasi populer tentang self-healing banyak dikritik karena cenderung individualistik dan berorientasi pada pasar. Buku, podcast, dan konten motivasi sering menekankan bahwa semua pemulihan adalah tanggung jawab individu. Padahal, banyak luka lahir dari struktur sosial: kemiskinan, diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga, atau relasi kuasa yang timpang. Dalam banyak kasus, “healing” tanpa mengubah struktur hanya memperpanjang penderitaan.
Di sinilah pentingnya pendekatan politik dalam memahami keheningan. Diam bisa jadi bentuk menolak untuk terus bertanggung jawab atas luka yang sebenarnya bersifat struktural. Diam adalah waktu untuk merenung, tapi juga bisa jadi ruang untuk merancang ulang relasi kita dengan sistem yang menyakiti.
Sunyi sebagai Ruang Aman dan Strategi Bertahan
Di dunia yang menganggap diam sebagai kelemahan, memilih untuk tidak bicara adalah bentuk kekuatan. Bagi sebagian orang, diam adalah tempat untuk merawat luka dalam ritme mereka sendiri. Ia bukan soal antisosial atau menarik diri, melainkan proses membangun kembali keutuhan diri di luar hiruk-pikuk sosial.
Tidak semua orang bisa atau harus menceritakan penderitaannya. Dan tidak semua penyembuhan harus melalui narasi verbal. Diam adalah bahasa jugaia berbicara lewat air mata yang tak terlihat, lewat jeda, lewat tarikan napas panjang di tengah malam.
Ruang Sunyi adalah Ruang Perlawanan
Hari ini, diam bukan sekadar tindakan pasif, tapi bentuk afirmasi terhadap hak untuk tidak tampil, untuk tidak menjelaskan, untuk tidak mengikuti arus pembuktian diri. Menyepi adalah upaya menjaga kesehatan mental di tengah tuntutan eksposur dan performativitas sosial yang kian brutal.
Di dunia yang terlalu ramai, memilih sunyi bukan tanda menyerah. Justru itu adalah cara kita menjaga kewarasan, menjaga batas, dan menghormati luka yang sedang mencari bentuknya sendiri untuk pulih.
Mari sembuh tanpa harus bercerita. Karena tidak semua kisah harus diceritakan untuk diakui. Kadang, cukup kita sendiri yang tahu betapa besar perjuangan itu.