Pemilihan Ketua Himpunan Mahasiswa maupun Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sering dianggap sekadar ajang formalitas organisasi kampus. Namun, di balik proses pemilihan itu, tersimpan dinamika politik mikro yang mencerminkan watak lebih besar dari politik nasional penuh manuver, tarik ulur kepentingan, hingga potensi kooptasi nilai idealisme oleh hasrat kekuasaan.
Fenomena ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Politik kampus bukan sekadar latihan organisasi, tapi cermin dari arah gerakan mahasiswa itu sendiri: apakah tetap progresif dan demokratis, atau justru mereproduksi oligarki dalam versi mini.
Kontestasi: Demokrasi atau Simulasi?
Setiap tahun, pemilihan ketua himpunan dan BEM memperlihatkan dua kutub yang kian mencolok: mereka yang menjadikan organisasi sebagai alat perjuangan sosial, dan mereka yang memandangnya sebagai batu loncatan karier pribadi. Kandidat-kandidat muncul membawa jargon perubahan, transparansi, dan keberpihakan mahasiswa namun tak jarang semua itu sebatas retorika kampanye.
Sistem pemilihan yang idealnya mendidik mahasiswa untuk berdemokrasi justru sering kali diwarnai praktik elitis: koalisi antar kelompok tertutup, intervensi senior, hingga ‘endorsement’ dari dosen atau aktor luar kampus. Bahkan dalam beberapa kasus, muncul praktik transaksional baik secara ekonomi maupun jabatan.
Fragmentasi Ideologis dan Polarisasi Emosional
Gerakan mahasiswa saat ini mengalami krisis orientasi ideologis. Di tengah kampus yang makin pragmatis, perdebatan tentang arah organisasi sering kali digantikan oleh rivalitas personal. Debat visi-misi berubah menjadi perang citra di media sosial, sementara substansi gerakan tergantikan oleh perhitungan suara.
Polemik kecil dalam pemilihan ketua bisa menjelma konflik berkepanjangan, bahkan memecah komunitas mahasiswa menjadi faksi-faksi yang tidak produktif. Polarisasi yang terjadi justru melemahkan kapasitas kolektif untuk membangun agenda perubahan yang nyata.
Reproduksi Kekuasaan ala Miniatur Negara
Yang lebih memprihatinkan, logika kekuasaan dalam pemilihan BEM atau himpunan semakin menyerupai pola politik negara: kampanye transaksional, kompromi elit, bahkan pembungkaman terhadap oposisi internal. Banyak pengurus pasca-terpilih tidak lagi memprioritaskan agenda mahasiswa, tapi lebih sibuk menjalin relasi dengan pihak kampus, LLDIKTI, atau sponsor-sponsor acara.
Beberapa ketua BEM menjelma menjadi manajer acara atau lobi-lobi jabatan eksternal, alih-alih pemimpin gerakan kritis. Dalam banyak kasus, gerakan mahasiswa akhirnya menjadi jinak, steril, dan kehilangan kekuatan menggugat.
Saatnya Politik Organisasi Dibebaskan dari Simulakra
Pemilihan ketua bukan sekadar soal siapa yang menang, tapi tentang bagaimana kampus mendidik mahasiswa memahami kekuasaan secara etis. Politik mahasiswa seharusnya menjadi ruang pembelajaran kolektif tentang demokrasi, keberpihakan sosial, dan tanggung jawab publik bukan sekadar pencitraan atau ajang mobilisasi klik.
Untuk itu, penting untuk mendorong regenerasi kepemimpinan yang lebih terbuka, transparan, dan berorientasi pada perjuangan. Perlu ada penguatan forum-forum diskusi ideologis, pelatihan kader, serta ruang demokrasi deliberatif yang menghindarkan organisasi dari jebakan elitis dan politisasi kosong.
Politik Kampus Harus Dibebaskan dari Bayang-Bayang Kekuasaan
Mahasiswa tidak bisa terus-menerus mengulangi kesalahan elite politik nasional di ruang kampus. Jika pemilihan ketua hanya dijadikan panggung bagi ambisi individu, maka organisasi mahasiswa tidak akan pernah menjadi alat perjuangan, tapi sekadar panggung transisi kekuasaan tanpa arah.
Saatnya mahasiswa mengembalikan organisasi sebagai ruang pendidikan politik progresif yang bukan hanya memilih pemimpin, tapi juga menumbuhkan kesadaran, keberanian, dan solidaritas.