Senja menyelimuti kota, namun bayangannya kali ini berbeda. Bukan lagi bayangan ketakutan atau ketidakberdayaan yang dulu merayap di sudut-sudut kumuh. Kini, ia adalah bayangan Kebenaran yang Tegak, dan Keadilan yang Berbicara Lantang.
Dahulu, jeruji besi adalah rumah bagi mereka yang lapar, terdesak oleh kemiskinan, atau sekadar lahir tanpa privilese. Mereka yang mencuri sebungkus nasi demi bertahan hidup, atau menjadi korban dari sistem yang buta dan tuli. Penjara-penjara kala itu dipenuhi wajah-wajah lelah—cerminan kegagalan sosial.
Namun zaman telah berubah. Angin keadilan kini menyapu bersih debu manipulasi dan penipuan.
Kini, jika Anda melangkah melewati gerbang lembaga pemasyarakatan, Anda akan melihat pemandangan yang tak terbayangkan sebelumnya: sebagian besar sel kini diisi oleh mereka yang mengenakan dasi sutra.
Di sayap-sayap khusus, terukir nama-nama yang dahulu menghiasi halaman depan surat kabar sebagai “Yang Terhormat.” Di balik jeruji, duduklah para mantan politisi, pejabat tinggi, dan konglomerat yang pernah bersekongkol menjarah kekayaan negara.
Ada mantan anggota parlemen yang kini merenungi uang suap miliaran rupiah yang dulu ia terima—uang yang seharusnya menjadi dana pembangunan sekolah dan rumah sakit.
Ada mantan menteri yang tertunduk di atas laporan audit, menyadari bagaimana ia mengalihkan bantuan sosial demi keuntungan pribadinya.
Ada pengusaha besar yang kini meratapi keangkuhannya; yang dulu merasa kebal hukum karena bisa membeli hakim dan jaksa, kini ditahan oleh sistem yang tak lagi bisa dibeli.
Di sisi lain, sel-sel yang dulunya sesak oleh orang miskin yang terpaksa melanggar hukum karena himpitan ekonomi kini kosong, atau diubah menjadi pusat rehabilitasi sosial. Sistem tidak lagi melihat mereka sebagai penjahat, melainkan sebagai korban yang perlu dibantu.
Penjaga penjara, yang dulu sering kelelahan menghadapi kerusuhan kecil akibat keputusasaan, kini sibuk mengatur jadwal pembacaan undang-undang antikorupsi bagi para narapidana barunya. Mereka yang dulu menulis hukum, kini belajar menjalani hukum.
Inilah dunia di mana keadilan menjadi ilmu pasti—bukan lagi tawar-menawar di ruang gelap. Di mana kebenaran adalah mata uang paling berharga.
“Karena kejahatan sejati,” bisik seorang petugas sambil menatap deretan sel mewah yang kini dihuni para mantan penguasa, “adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan perampasan hak-hak rakyat banyak. Dan di bawah payung keadilan yang sesungguhnya, kejahatan itulah yang pantas menempati sel paling dingin.”
Di luar tembok penjara, rakyat miskin perlahan mulai bangkit. Dana negara yang terselamatkan kini mengalir ke pembangunan nyata, pendidikan gratis, dan layanan kesehatan yang layak. Mereka tidak lagi takut pada hukum—karena kini, hukum berada di pihak mereka.
Keadilan sejati akhirnya terwujud: bukan sebagai bentuk pembalasan dendam, melainkan sebagai koreksi fundamental terhadap kekuasaan dan privilese.
















