Jakarta – Hari itu, Selasa, 20 Mei 2025, ribuan jaket hijau membanjiri jalanan Jakarta. Bukan untuk mengantar pesanan, melainkan untuk menyuarakan protes yang sudah lama terpendam. Dari Istana Merdeka, Gedung Kementerian Perhubungan, hingga Gedung DPR/MPR RI, mereka menyuarakan kekecewaan mendalam terhadap aplikator yang dianggap telah melanggar regulasi dan merugikan para pengemudi. Ini bukan sekadar demo, tapi jeritan hati para pejuang jalanan yang merasa haknya terampas.
Aksi ini, yang diinisiasi oleh Asosiasi Pengemudi Ojek Online Gabungan Aksi Roda Dua (GARDA) Indonesia, tak hanya menggema di Jakarta. Di berbagai kota lain, ribuan driver juga turut bergabung, menunjukkan bahwa masalah ini adalah luka bersama.
Ketua GARDA Indonesia, Igun Wicaksono, bahkan tak main-main dengan ancamannya. Jika tuntutan tak dipenuhi sebelum akhir Mei 2025, ia siap mengobarkan api perlawanan yang lebih besar, termasuk aksi kekerasan dan off bid massal.
Bayangkan, jalanan sepi tanpa ojol? Bisa bikin panik kota!
Perjuangan untuk Hidup Layak: Potongan 10 Persen atau Mati!
Inti masalahnya sederhana tapi krusial: potongan aplikator yang dirasa terlalu besar. Mereka menuntut penegakan aturan maksimal potongan 10 persen, sesuai Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 dan Kepmenhub Nomor 101 Tahun 2022. Bagi mereka, ini bukan sekadar angka, tapi soal dapur ngebul dan hidup layak.
“Bapak pimpinan sempat menyebutkan bahwa pas aksi kemarin ada terjadi kerugian perusahaan aplikasi Rp187,95 miliar dalam satu hari. Maka kita siap memberikan mereka hukuman lebih besar lagi,” tegas Igun dengan nada mengancam dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Komisi V DPR RI, Rabu, 21 Mei 2025, sehari setelah demo besar. Pernyataan ini terekam dalam tayangan YouTube TVR Parlemen. Tampak jelas, mereka sudah siap mengambil risiko untuk sebuah keadilan.
Igun juga mengungkapkan rasa frustrasinya. Sampai saat ini, belum ada kejelasan dari pemerintah terkait tuntutan mereka setelah aksi off bid massal.
“Ini harus tuntas Pak. Kami kasih waktu inginnya besok sudah ada keputusan. Kami tidak mau digantung lagi, nanti berlarut-larut lagi, mengelak. Enggak ada. Kami kasih waktu hingga akhir Mei ini. Kalau tidak ada lagi keputusan dari Menteri Perhubungan kami akan melakukan aksi lebih besar,” ujarnya, menunjukkan bahwa kesabaran mereka sudah di ambang batas.
Eki Zakya Aziz, anggota GARDA Indonesia yang turut hadir di RDPU, menambahkan perspektif menarik. “Perbandingan di negara Malaysia online 6 persen bisa hidup kenapa di Indonesia harus 20 persen bahkan bisa lebih dari 20 persen,” tuturnya.
Ini adalah perbandingan yang telak, menyoroti ketidakadilan yang mereka rasakan. Jika di negara tetangga bisa untung dengan potongan kecil, mengapa di Indonesia justru mencekik leher para driver?
Taksiran Kerugian yang Timbul dari Akse Demo Ojol
Ketua Komisi V DPR, Lasarus, juga menyampaikan rentetan demo dari para driver ojek online yang pernah digelar di Jakarta, dalam tayangan YouTube TVR Parlemen. Lebih lanjut terkait demo yang digelar pada Selasa, 20 Mei 2025, Lasarus menyampaikan kerugian mencapai Rp187,95 miliar.
“Aksi besar kemarin pada tanggal 20 Mei 2025 menurut prediksi peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies atau IDEAS tidak disertai aksi offbid massal para mitra ojol hari itu. Maka potensi nilai transaksi yang terdampak mencapai sekitar Rp 187,95 miliar dari total gross transaction value atau GTV sepanjang 2024 yang diperkirakan mencapai 135 triliun,” ujar Ketua Komisi V DPR Lasarus, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 21 Mei 2025.
Angka yang fantastis ini bukan main-main. Menurut Muhammad Anwar, Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), yang menghitung potensi kerugian tersebut, penurunan aktivitas sektor ride hailing akibat aksi off bid massal memangkas 50 persen perputaran uang.
“Nilai transaksi harian sektor ride hailing diperkirakan mencapai Rp375,89 miliar. Jika aktivitas turun separuh saja, artinya ada hampir Rp188 miliar yang tidak berputar dalam satu hari,” jelas Anwar dalam rilis resminya yang diterima CNN, Rabu (21/5). Angka ini didapat dari rata-rata nilai total transaksi seluruh aplikator di Indonesia yang mencapai Rp135,32 triliun per tahun.
Dampak kerugian ini tak hanya dirasakan oleh aplikator, tapi juga menyentuh langsung denyut ekonomi rakyat kecil. Anwar memaparkan setidaknya empat sektor yang merasakan dampaknya. Pertama, para pemilik UMKM dan pedagang kuliner yang sangat bergantung pada layanan pesan antar seperti GoFood dan GrabFood. Bagi mereka, arus kas harian adalah urat nadi, dan penurunan pesanan bisa berarti ancaman serius bagi kelangsungan usaha.
Kedua, masyarakat umum, terutama pekerja harian dan pelajar di kota-kota besar macam Jakarta, Surabaya, atau Medan. Mobilitas mereka terganggu, yang tentu saja berdampak pada aktivitas sehari-hari.
Ketiga, sektor logistik berskala kecil, yang mengandalkan pengiriman barang dan dokumen mendesak via GoSend atau GrabExpress. Usaha mikro dan individu ini sangat bergantung pada layanan tersebut.
Dampak keempat, dan mungkin yang paling penting, adalah risiko serius bagi reputasi perusahaan platform digital itu sendiri. Anwar dengan tajam melihat bahwa ketika mitra—para driver ojol—merasa tidak dihargai dan tidak dilindungi, model bisnis perusahaan tersebut otomatis terancam.
Demo ojol ini, menurutnya, adalah cerminan ketimpangan hubungan kuasa antara raksasa platform digital dengan para pengemudi yang menjadi tulang punggung operasional mereka. Para driver, faktanya, bekerja layaknya karyawan tetap, namun tanpa perlindungan hukum yang layak.
“Tanpa regulasi yang adil dan berpihak, digitalisasi hanya akan menjadi konsekuensi dari eksploitasi ekonomi lama dengan wajah baru. Negara tidak boleh diam melihat jutaan pengemudi dibiarkan tanpa kepastian dan perlindungan,” tegas Anwar, sebuah peringatan keras bagi pemerintah dan aplikator.
Diskusi antara driver ojol dan anggota Komisi V DPR RI masih berlanjut. Aspirasi sudah disampaikan, masukan sudah diterima.***