Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Marthinus Hukom meluruskan pernyataannya terkait pelarangan penangkapan terhadap artis yang terlibat penyalahgunaan narkoba. Dalam wawancara khusus dengan Liputan6.com dan SCTV, Selasa, 1 Juli 2025, Marthinus menegaskan bahwa kebijakan tersebut hanya berlaku bagi pengguna narkoba, bukan bagi pengedar.
“Betul, itu perintah saya. Tapi bagi artis yang pengguna. Tapi kalau artis yang pengedar, ya sudah barang tentu kita tangkap. Karena itu kejahatan,” ujar Marthinus kepada wartawan.
Ia menjelaskan bahwa pendekatan rehabilitatif lebih efektif dan efisien dibandingkan pemidanaan bagi pengguna narkoba, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 54 dan 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pendekatan ini, menurutnya, akan membantu mengatasi masalah over kapasitas di lembaga pemasyarakatan.
“Nah, aturan hukum kita bahwa penangkapan pengguna itu, ujungnya adalah rehabilitasi. Tapi saya mengharapkan bahwa para pengguna itu tidak perlu ditangkap. Kita harus membangun kesadaran mereka, dan mereka lapor kepada petugas,” tambahnya.
BNN, kata Marthinus, kini mengedepankan dua pendekatan rehabilitasi: sukarela (voluntary) dan wajib (compulsory). Ia bahkan mencontohkan bahwa Indonesia saat ini memiliki 1.496 Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang dapat diakses oleh para pecandu narkoba tanpa harus melalui proses pidana.
Namun, kebijakan ini menuai kritik tajam dari Pengamat Kebijakan Publik, Muhammad Gumarang. Ia menyebut kebijakan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan prinsip keadilan yang dijamin undang-undang.
“Keputusan pimpinan BNN ini sangat miris,” ujar Gumarang kepada nawacitapost.com.
Gumarang mengacu pada Pasal 127 jo Pasal 54 UU Narkotika yang memang membuka peluang rehabilitasi bagi pengguna, namun tetap melalui proses hukum. Ia juga mempertanyakan dasar penggunaan diskresi dalam kebijakan ini.
“Pasal itu justru memberi ruang alternatif, bisa rehabilitasi bila pelaku adalah korban, tapi tetap bisa diproses hukum. Bukan berarti dilarang ditangkap begitu saja,” tegasnya.
Menurutnya, penggunaan diskresi oleh Kepala BNN dalam konteks ini tidak sah, karena tidak terjadi kekosongan hukum. Ia menyebut kebijakan tersebut rawan menjadi penyalahgunaan kekuasaan.
“Ini bukan diskresi, tapi penyimpangan hukum yang rawan menjadi abuse of power. Bahkan bisa jadi objek gugatan ke PTUN karena tidak memenuhi prinsip keadilan. Ini diskriminatif,” ujarnya.
Gumarang juga menyoroti logika BNN yang menghindari penangkapan artis karena dianggap dapat mempromosikan narkoba di media sosial.
“Alasan itu mengada-ada. Kalau begitu logikanya, politisi, pejabat negara, anggota TNI/Polri juga seharusnya tidak ditangkap, karena mereka juga figur publik. Tapi kenyataannya mereka tetap diproses,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa tanpa proses hukum yang jelas, kebijakan BNN ini bisa dimanfaatkan oleh para pengedar narkoba untuk berlindung di balik status sebagai artis atau pengguna.
“Harus hati-hati, bisa saja mereka berkedok sebagai pengguna padahal sebenarnya pengedar atau kaki tangan bandar besar,” tegasnya.
Lebih jauh, Gumarang mengungkapkan bahwa ketimpangan perlakuan hukum antara artis dan masyarakat biasa sangat mencolok. “Wajar kalau Lapas di Indonesia overload, karena mayoritas penghuninya adalah napi narkoba dari kalangan bawah,” pungkasnya.