Serikat pekerja, sebagai wadah perjuangan kaum buruh, kerap menjadi panggung penting dalam dinamika sosial-politik dunia kerja.
Di dalamnya, kekuasaan bukan sekadar simbol otoritas, tetapi juga sarana untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan anggota.
Namun, tak sedikit yang menilai bahwa posisi dalam serikat pekerja menjadi incaran banyak pihak, bahkan memunculkan ambisi yang kuat untuk merebut kursi kepemimpinan.
Mengapa ini terjadi? Berikut dua sisi alasan yang bisa menjelaskan fenomena ini:
Motivasi Positif: Ladang Pengabdian dan Amal
Menjadi Lebih Bermanfaat bagi Orang Lain
Bagi sebagian individu, kekuasaan dalam serikat pekerja bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk berbuat baik. Prinsip bahwa “sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” menjadi landasan utama mereka.
Dengan duduk di posisi strategis, mereka berharap dapat memperjuangkan kepentingan banyak orang dan memberikan perubahan nyata bagi kehidupan buruh.
Ladang Amal Shaleh
Menjadi pemimpin dalam serikat pekerja dipandang sebagai salah satu bentuk amal shaleh. Di tengah kehidupan yang sementara, mereka memilih jalan pengabdian yang penuh risiko dan tanggung jawab, demi menegakkan keadilan dan kesejahteraan.
Bagi mereka, memperjuangkan hak-hak pekerja adalah bagian dari ibadah sosial yang nilainya tak tergantikan.
Menjadi Pemimpin yang Adil dan Bijak
Ada juga yang terdorong oleh keyakinan bahwa mereka mampu memimpin dengan adil dan bijak. Mereka merasa memiliki kapasitas untuk mengemban amanah besar—mengelola, membela, dan memimpin ratusan bahkan ribuan anggota.
Mereka ingin membuktikan bahwa kepemimpinan dalam serikat bukan sekadar formalitas, melainkan tanggung jawab moral dan sosial yang harus ditunaikan dengan sungguh-sungguh.
Motivasi Negatif: Arena Mencari Peruntungan
Meningkatkan Nama dan Nilai Tawar
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa ada pula yang melihat posisi dalam serikat sebagai batu loncatan. Jabatan digunakan untuk meningkatkan reputasi pribadi, membangun jejaring politik, serta menaikkan nilai tawar di mata pengusaha maupun pemerintah.
Serikat, dalam konteks ini, dijadikan panggung untuk kepentingan personal, bukan kolektif.
Ambisi Posisi di Luar Dunia Buruh
Beberapa individu bahkan memanfaatkan kekuasaan di serikat untuk membuka jalan menuju jabatan-jabatan lain di luar ranah perburuhan—seperti menjadi anggota dewan, pengawas BUMN, atau posisi strategis lainnya.
Rekomendasi dari organisasi serikat sering kali menjadi tiket emas untuk masuk ke institusi tersebut. Sayangnya, ketika ambisi pribadi lebih dominan, suara buruh bisa menjadi alat tawar-menawar politik semata.
Kekuasaan dalam serikat pekerja memang penuh dilema: ia bisa menjadi ladang amal dan perjuangan, namun juga bisa berubah menjadi arena kepentingan pribadi. Semua kembali pada niat dan integritas masing-masing individu.
Namun satu hal yang pasti, buruh sebagai pemilik sejati organisasi harus tetap kritis, cerdas memilih pemimpin, dan aktif mengawal agar suara mereka tidak diperdagangkan demi ambisi segelintir orang.