Tayangan program “Expose Uncensor” di stasiun televisi Trans7 menuai gelombang kritik dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), pesantren tradisional, hingga tokoh masyarakat. Tayangan yang menyorot kehidupan pesantren dalam format dokumenter satir dinilai melukai nilai-nilai keagamaan dan menciptakan kesan negatif terhadap lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia tersebut.
Menurut laporan Tempo (14 Oktober 2025), dalam salah satu episodenya, program tersebut menampilkan adegan fiktif yang menyerupai kehidupan di pesantren dengan narasi berlebihan. Visualisasi tersebut menampilkan suasana disiplin keras dan mistik tanpa konteks keseharian santri. Narasi itu dinilai mengaburkan makna pesantren sebagai lembaga pembinaan moral dan spiritual.
Sementara itu, NU Online (15 Oktober 2025) memberitakan bahwa ribuan warga pesantren dan warganet menyampaikan protes melalui media sosial. Tagar #KamiSantriNU menjadi tren nasional sebagai bentuk solidaritas terhadap kiai dan santri yang merasa dilecehkan oleh tayangan tersebut. Banyak yang menilai media seharusnya memiliki pemahaman budaya sebelum mengangkat tema sensitif ke ranah publik.
Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, dalam pernyataannya kepada Suara.com (14 Oktober 2025) menilai tayangan itu sebagai bentuk pelecehan terhadap institusi pendidikan Islam yang memiliki jasa besar dalam sejarah bangsa. “Pesantren adalah pilar moral bangsa. Tidak pantas dijadikan bahan hiburan yang menyesatkan,” ujarnya.
 Sementara Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH. Ahmad Nawardi, kepada ANTARA News (15 Oktober 2025) menegaskan bahwa media massa seharusnya menjadi mitra edukatif, bukan penyulut kontroversi.
Pihak Trans7 kemudian menyampaikan permintaan maaf terbuka dan menarik tayangan tersebut dari kanal digital mereka. Pernyataan resmi ini dikutip MINA News (18 Oktober 2025). Redaksi Trans7 juga menyatakan siap memperbaiki sistem editorial agar lebih memperhatikan sensitivitas tema keagamaan.
 Namun, Polda Metro Jaya tetap melakukan penelusuran awal terhadap laporan masyarakat mengenai dugaan pelecehan simbol keagamaan (Indozone, 17 Oktober 2025).
Menteri Agama Nasaruddin Umar turut angkat bicara. Ia menyebut bahwa pesantren telah berperan sebagai benteng moral bangsa, sehingga setiap representasi di media harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. “Kebebasan pers bukan berarti bebas dari etika,” ujarnya, dikutip dari MINA News (18 Oktober 2025).
Dari berbagai sumber yang kami himpun, redaksi memandang polemik ini sebagai cermin ketegangan klasik antara kebebasan pers dan tanggung jawab sosial media.
 Program “Expose Uncensor” memang memiliki hak jurnalistik untuk menyoroti realitas sosial, tetapi dalam konteks pesantren — yang sarat dengan nilai spiritual, hierarki moral, dan simbol religius — kesalahan konteks sekecil apa pun dapat menimbulkan luka kultural.
Media modern kerap terjebak dalam clickbait journalism dan visualisasi dramatis untuk menarik perhatian publik, namun lupa bahwa pesantren bukan sekadar institusi pendidikan; ia adalah ruang pembentukan akhlak dan identitas keislaman yang dihormati jutaan umat.
 Kesalahan framing seperti ini tidak hanya menyinggung, tetapi juga berpotensi menciptakan jarak psikologis antara masyarakat pesantren dan media arus utama.
Dari perspektif etika pers, peristiwa ini menunjukkan pentingnya:
1. Sensitivitas redaksi terhadap simbol keagamaan dan budaya lokal.
 2. Verifikasi konteks sebelum menayangkan visualisasi pesantren.
 3. Pelibatan narasumber dari kalangan pesantren dalam proses produksi tayangan bertema keagamaan.
 4. Peningkatan literasi media di pesantren, agar lembaga keagamaan juga aktif menyampaikan narasi positifnya sendiri.
Redaksi berpandangan bahwa peristiwa ini bukan sekadar kesalahan satu program televisi, tetapi juga momentum bagi semua pihak untuk membangun dialog sehat antara dunia media dan pesantren. Media harus tetap kritis, namun juga empatik. Sementara pesantren perlu membuka ruang komunikasi agar nilai-nilai luhur yang mereka jaga dapat dipahami secara benar oleh publik luas.
Kesimpulan nya bahwa kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap nilai-nilai agama bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan dua sisi dari tanggung jawab sosial yang sama.
 Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, keseimbangan antara hak media untuk mengabarkan dan hak pesantren untuk dihormati menjadi fondasi penting bagi terciptanya komunikasi yang sehat, adil, dan beradab.
 
 








 
 







