Katanya, cobaan manusia itu nggak jauh-jauh dari tiga hal: harta, tahta, wanita. Kedengarannya klise, tapi lihatlah berita-berita di televisi atau timeline medsos Anda. Hampir tiap minggu ada saja pejabat yang kepergok terima amplop, politisi yang gila jabatan, atau tokoh publik yang tersandung urusan asmara. Kalau dirangkum, masalahnya ya balik lagi ke tiga kata sakti itu.
Harta, misalnya. Nggak perlu jadi pejabat dulu deh. Uang receh saja kadang bisa bikin orang tega ngibulin temannya. Contoh paling sederhana, ada orang yang rela bohong soal utang 50 ribu, padahal kalau dihitung-hitung, harga rokok dan kopi yang ia beli sehari-hari jauh lebih besar. Naik level dikit, kita bisa lihat kasus dana bansos yang dikorupsi. Bayangkan, uang yang seharusnya dipakai beli beras dan minyak untuk masyarakat kecil justru masuk ke kantong pribadi pejabat. Alasannya klasik: “Saya khilaf.” Lah, khilaf kok bisa sampai punya villa di Puncak?
Tahta juga nggak kalah seram. Orang yang tadinya ramah, begitu pegang jabatan bisa langsung berubah jadi manusia setengah dewa. Kursi empuk di kantor tiba-tiba terasa lebih penting daripada kursi kayu di rumah sendiri. Padahal, tahta itu kan kayak kursi di angkot: nggak bakal selamanya kita duduk di situ, sebentar lagi pasti ada yang ganti. Sejarah juga sudah mencatat banyak raja yang hancur gara-gara rakus kekuasaan. Dari kisah Romawi kuno sampai politik modern di negeri kita, banyak pemimpin jatuh bukan karena musuh di luar, tapi karena ambisinya sendiri.
Contoh nyata? Pemilu di desa pun sering jadi arena “miniatur politik nasional.” Ada yang rela keluar duit banyak demi jadi ketua RW atau kepala desa. Padahal, gaji dan tunjangan jabatan itu jelas nggak sebanding dengan modal yang dihamburkan. Tapi ya itu tadi, demi gengsi, demi disebut “orang penting,” orang bisa nekat. Nggak jarang setelah terpilih, yang dikejar bukan lagi amanah, tapi cara mengembalikan modal kampanye.
Nah, yang terakhir: wanita. Ini bagian yang agak rumit sekaligus rawan sensasi. Sejarah penuh dengan kisah raja yang jatuh gara-gara urusan asmara. Dari Majapahit sampai Eropa, banyak pemimpin besar yang runtuh karena cinta terlarang. Di era modern, kita sering dengar pejabat, artis, bahkan ustaz kondang tersandung skandal. Lucunya, meski kasusnya berulang-ulang, para lelaki tampaknya nggak pernah benar-benar belajar. Kadang mereka pikir punya “wanita simpanan” itu gagah, padahal yang disimpan justru bom waktu buat karier dan rumah tangganya sendiri.
Contoh paling kekinian? Gosip perselingkuhan yang viral di TikTok. Dari suami tetangga sampai selebgram, semuanya bisa jadi bahan konsumsi publik. DM misterius yang masuk ke Instagram bisa jadi pintu awal drama rumah tangga. “Cuma balas basa-basi kok,” katanya. Padahal, basa-basi itulah yang sering berubah jadi basi-basi rumah tangga.
Tiga hal ini memang sering dianggap godaan klasik. Tapi jangan salah, konteksnya bisa berubah-ubah. Di era digital, harta bisa berupa saldo e-wallet yang bikin orang kalap belanja flash sale. Pernah lihat orang rela ngutang paylater demi barang yang sebenarnya nggak terlalu dibutuhkan? Itulah versi modern godaan harta. Tahta bisa berarti jumlah followers dan centang biru di media sosial. Banyak orang rela melakukan apa saja demi validasi online, dari bikin konten ekstrem sampai pamer gaya hidup palsu. *Sementara wanita bisa muncul dalam bentuk notifikasi DM misterius* yang tiba-tiba mampir di malam hari, lengkap dengan emoji hati.
Masalahnya sebenarnya bukan pada harta, tahta, atau wanita itu sendiri. Nggak ada yang salah dengan punya uang, punya jabatan, atau jatuh cinta. Yang bikin runyam adalah ketika ketiganya jadi candu, jadi obsesi, sampai-sampai akal sehat dan moral ikut diparkir di pinggir jalan.
Bayangkan, kalau harta dikejar tanpa batas, hasilnya korupsi. Kalau tahta diperebutkan dengan serakah, hasilnya konflik. Kalau cinta dijalani tanpa etika, hasilnya skandal. Semua ujungnya sama: hancur.
Jadi, kalau ada yang bilang godaan manusia paling besar adalah “harta, tahta, wanita,” mungkin lebih tepatnya: *bagaimana kita mengendalikan diri saat berhadapan dengan ketiganya.* Karena tanpa kontrol, yang tadinya rejeki bisa berubah jadi petaka.
Singkatnya, masalah bukan di “Harta. Tahta. Wanita.” Masalahnya ya… ada di kita sendiri.

















