Masyarakat Indonesia saat ini menghadapi dilema besar terkait keinginan memiliki anak. Meski mayoritas pasangan sebenarnya ingin memiliki keturunan dan melihat anak sebagai sumber kebahagiaan serta penyempurna keluarga, banyak juga yang menunda atau memilih untuk tidak punya anak karena kekhawatiran akan masa depan yang penuh ketidakpastian, terutama dari sisi ekonomi dan lingkungan hidup.
Data survei terbaru menunjukkan bahwa sekitar 66% pasangan ingin punya anak, dengan alasan utama untuk melanjutkan keturunan dan menyempurnakan keluarga. Namun, fenomena childfree — memilih untuk tidak memiliki anak — mulai muncul, meskipun masih dalam persentase kecil, yaitu sekitar 8 persen perempuan usia subur di Indonesia. Alasan utama mereka bukan karena tidak ingin anak secara mutlak, melainkan karena kendala ekonomi, ketidakstabilan pekerjaan, dan kekhawatiran akan biaya membesarkan anak yang semakin tinggi.
Ketidakpastian ekonomi yang meliputi tingginya biaya hidup, keterbatasan tempat tinggal, dan ketidakstabilan pekerjaan menjadi faktor utama yang membuat banyak pasangan menunda memiliki anak atau bahkan memilih hidup tanpa anak. Selain itu, kekhawatiran terhadap keberlanjutan lingkungan hidup, pandemi, dan krisis iklim juga turut menjadi beban pikiran yang membuat orang ragu untuk menambah anggota keluarga.
Fenomena ini jika tidak ditangani dengan baik dapat berpotensi menimbulkan krisis kependudukan di masa depan. Pemerintah dan lembaga terkait seperti BKKBN dan UNFPA pun mengingatkan pentingnya pengawasan dan edukasi agar tren childfree tidak berkembang pesat dan angka fertilitas nasional tetap ideal. Saat ini, angka fertilitas Indonesia berada di kisaran 2,11, yang sudah dianggap ideal, namun distribusi angka kelahiran masih belum merata di berbagai daerah.
Meskipun demikian, budaya dan nilai agama di Indonesia masih sangat kuat menempatkan keturunan sebagai kewajiban dan sumber keberkahan dalam keluarga. Mayoritas masyarakat tetap ingin memiliki anak, terutama di daerah pedesaan yang tingkat kelahirannya masih tinggi. Di sisi lain, masyarakat perkotaan yang lebih teredukasi dan berpenghasilan menengah ke atas justru lebih banyak menghadapi kesulitan dalam memiliki anak, baik karena faktor ekonomi maupun gaya hidup.
Penting bagi pemerintah untuk terus memberikan edukasi dan dukungan bagi pasangan muda agar mereka bisa merencanakan keluarga dengan baik, mengatasi ketakutan dan hambatan ekonomi, serta menjaga keseimbangan antara keinginan memiliki anak dan kemampuan untuk membesarkan mereka dengan baik.
Singkatnya, meski keinginan memiliki anak tetap tinggi di Indonesia, kekhawatiran akan masa depan yang tidak pasti membuat banyak pasangan menunda atau memilih childfree. Jika tren ini terus berlanjut tanpa penanganan, Indonesia bisa menghadapi tantangan demografis serius di masa depan.
Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan sangat dibutuhkan untuk menciptakan kondisi yang mendukung keluarga muda agar tetap optimis dan mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas.