Pernahkah Anda merasa cemas dan gelisah saat melihat teman-teman di media sosial sedang menikmati liburan seru, menghadiri konser idola, atau berkumpul dalam acara yang “wajib” dihadiri? Perasaan inilah yang dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out), sebuah ketakutan akan tertinggal dari momen, informasi, atau pengalaman yang sedang viral.
Di era digital yang serbacepat ini, FOMO menjadi fenomena yang sangat merajalela. Kita seolah didorong untuk terus-menerus online, terus update dengan setiap berita dan tren, serta merasa wajib hadir di setiap kesempatan yang “berharga.”
Namun, di balik ilusi konektivitas yang tanpa henti itu, banyak dari kita justru merasa lelah, stres, dan bahkan kehilangan arah dalam hidup. Kita terjebak dalam siklus tanpa akhir untuk terus mengejar dan membuktikan diri, hingga melupakan esensi kebahagiaan sejati.
JOMO: Sebuah Jalan Keluar Menuju Kedamaian
Menanggapi kelelahan mental yang ditimbulkan oleh FOMO, muncullah sebuah konsep yang membawa angin segar: JOMO (Joy of Missing Out). Berbeda dengan FOMO yang didasari rasa cemas, JOMO adalah kegembiraan yang muncul saat kita memilih untuk tidak terlibat dalam arus konstan informasi, tren, atau kegiatan yang tidak relevan.
Ini bukan berarti kita ketinggalan atau tidak peduli, melainkan sebuah kesadaran bahwa tidak semua hal harus diikuti. JOMO adalah tentang menemukan kepuasan dan kedamaian dalam kesederhanaan, dalam momen-momen yang mungkin tidak glamour di media sosial, namun kaya akan makna personal.
Tekanan FOMO sebagian besar timbul dari budaya komparasi yang menjamur di platform media sosial. Algoritma media sosial dirancang untuk menampilkan “highlight terbaik” dari kehidupan orang lain—liburan mewah, pesta meriah, pencapaian karier gemilang, atau hubungan yang terlihat sempurna. Gambar-gambar dan narasi yang dikurasi sedemikian rupa ini seringkali menciptakan ilusi bahwa hidup orang lain jauh lebih menarik, lebih sukses, atau lebih bahagia daripada hidup kita sendiri.
Akibatnya, kita sering merasa hidup kita biasa saja, kurang menarik, bahkan cenderung gagal jika dibandingkan dengan standar semu yang terpampang di layar gawai. JOMO adalah bentuk perlawanan elegan terhadap tekanan semacam ini. Ia mengajarkan kita untuk menerima bahwa tidak ikut serta dalam setiap tren atau keramaian bukan berarti kita tidak bahagia atau tidak berharga. Sebaliknya, ini adalah sebuah pilihan sadar untuk memprioritaskan kesejahteraan mental dan kebahagiaan otentik.
Mengambil Kembali Kendali Atas Hidup
Memilih untuk mempraktikkan JOMO bukan berarti Anda harus menjadi anti-teknologi atau menarik diri sepenuhnya dari dunia modern. Jauh dari itu, JOMO adalah tentang pemulihan kendali atas hidup kita sendiri. Ini adalah sebuah deklarasi bahwa kitalah yang memutuskan bagaimana dan kapan kita akan terlibat dengan dunia digital, bukan sebaliknya. Langkah-langkah kecil bisa menjadi awal yang baik untuk mempraktikkan JOMO:
- Menyisihkan Waktu Tanpa Ponsel: Tentukan waktu atau tempat tertentu di mana ponsel Anda tidak boleh digunakan, seperti saat makan bersama keluarga, sebelum tidur, atau saat berolahraga.
- Mematikan Notifikasi: Matikan notifikasi yang tidak esensial dari aplikasi media sosial atau berita. Biarkan diri Anda yang memutuskan kapan Anda ingin memeriksa informasi, bukan notifikasi yang terus-menerus menginterupsi.
- Membuat Zona Bebas Gadget: Tetapkan area di rumah Anda sebagai “zona bebas gadget,” misalnya di kamar tidur atau ruang makan, untuk mendorong interaksi tatap muka dan mengurangi distraksi.
Kurasi Lingkaran Digital Anda: Unfollow akun-akun yang membuat Anda merasa tidak nyaman, memicu perbandingan, atau tidak memberikan nilai positif bagi hidup Anda.
Lebih dari sekadar membatasi penggunaan gawai, JOMO juga mengajarkan kita untuk hadir secara utuh dalam momen. Ini adalah tentang menikmati kebersamaan dengan keluarga atau teman tanpa terdistraksi oleh layar ponsel yang berkedip. Ini adalah tentang membaca buku favorit tanpa tergesa-gesa memikirkan notifikasi yang mungkin masuk. Atau sekadar duduk diam di taman, menikmati secangkir kopi, atau merenung tanpa merasa bersalah karena “tidak produktif” atau “ketinggalan sesuatu.” JOMO mendorong kita untuk menghargai kualitas daripada kuantitas, kedalaman daripada keluasan.
Pada akhirnya, dalam dunia yang terasa terlalu terhubung dan terus-menerus menuntut perhatian kita, kadang kala tindakan yang paling sehat dan paling bijaksana adalah memutuskan sambungan. Bukan untuk menjauh dari dunia, melainkan untuk terhubung kembali dengan diri sendiri, dengan pikiran, perasaan, dan kebutuhan yang seringkali terabaikan di tengah hiruk-pikuk digital. JOMO adalah undangan untuk menemukan kedamaian batin, kebahagiaan yang sejati, dan kendali atas hidup kita, satu momen pada satu waktu.