• Tentang Kami
  • Layanan Iklan
  • Hubungi Kami
Selasa, 09 Desember 2025
Intiporia
Kirim Artikel
  • Sekilas
  • Tren
    • All
    • Budaya
    • Dunia
    • Film
    • Kampus
    • Lingkungan
    • Lokal
    • Musik
    • Muslim
    • Olahraga
    • Opini
    • Peristiwa
    • Politik
    • Selebritas
    • Teknologi
    • Wisata
    TPA Cikolotok Purwakarta

    TPA Cikolotok, Gunung Sampah yang Sempat Diwacanakan Jadi Tempat Wisata

    Pelatih PERSIB, Bojan Hodak

    Persib Siap Tantang Pemuncak Klasemen: Hodak dan Klok Tegaskan Tak Mau Kendur di GBLA

    Dinar

    Dinar dan Dirham: Mata Uang Abadi dalam Sejarah Islam

    Epy Kusnandar

    Epy Kusnandar: Jejak Seni, Perjuangan, dan Warisan “Kang Mus”

    Polres Purwakarta

    APDESI Purwakarta Ajak Polres Purwakarta, Bedah Penerapan Restorative Justice

    Indomaret Cabang Purwakarta Dorong Kreativitas Anak Lewat Lomba Mewarnai Bersama Dancow - Dok. JJ

    Indomaret Cabang Purwakarta Dorong Kreativitas Anak Lewat Lomba Mewarnai Bersama Dancow

    Persib

    Bojan Hodak Sesalkan Kekalahan PERSIB dari LCS di ACL Two

    Sibuk

    Absurditas Kewajiban Pura-Pura Sibuk: Kita Semua Budak Validasi

    Marc Klok Persib

    Tekad Kemenangan Klok di Singapura: PERSIB Mengincar Hasil Positif Lawan Lion City Sailors

  • Have Fun!
  • Esai
  • Belajar
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
No Result
View All Result
Intiporia
  • Sekilas
  • Tren
    • All
    • Budaya
    • Dunia
    • Film
    • Kampus
    • Lingkungan
    • Lokal
    • Musik
    • Muslim
    • Olahraga
    • Opini
    • Peristiwa
    • Politik
    • Selebritas
    • Teknologi
    • Wisata
    TPA Cikolotok Purwakarta

    TPA Cikolotok, Gunung Sampah yang Sempat Diwacanakan Jadi Tempat Wisata

    Pelatih PERSIB, Bojan Hodak

    Persib Siap Tantang Pemuncak Klasemen: Hodak dan Klok Tegaskan Tak Mau Kendur di GBLA

    Dinar

    Dinar dan Dirham: Mata Uang Abadi dalam Sejarah Islam

    Epy Kusnandar

    Epy Kusnandar: Jejak Seni, Perjuangan, dan Warisan “Kang Mus”

    Polres Purwakarta

    APDESI Purwakarta Ajak Polres Purwakarta, Bedah Penerapan Restorative Justice

    Indomaret Cabang Purwakarta Dorong Kreativitas Anak Lewat Lomba Mewarnai Bersama Dancow - Dok. JJ

    Indomaret Cabang Purwakarta Dorong Kreativitas Anak Lewat Lomba Mewarnai Bersama Dancow

    Persib

    Bojan Hodak Sesalkan Kekalahan PERSIB dari LCS di ACL Two

    Sibuk

    Absurditas Kewajiban Pura-Pura Sibuk: Kita Semua Budak Validasi

    Marc Klok Persib

    Tekad Kemenangan Klok di Singapura: PERSIB Mengincar Hasil Positif Lawan Lion City Sailors

  • Have Fun!
  • Esai
  • Belajar
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
Intiporia
  • Sekilas
  • Tren
  • Have Fun!
  • Esai
  • Belajar
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
Home Esai

‘Kumpul Kebo’ di Indonesia: Antara Fenomena Sosial dan Tantangan Budaya

kalo kata zaman now, living together

Anggraena by Anggraena
9 Juni 2025
in Esai
Ilustrasi kohabitasi atau kumpul kebo - Freepik/pressfoto

Ilustrasi kohabitasi atau kumpul kebo - Freepik/pressfoto

Share on WhatsappShare on FacebookShare on Linkedin

Fenomena “kumpul kebo” atau kohabitasi dimana pasangan yang belum menikah hidup bersama dalam satu atap bukanlah isu baru di Indonesia, tetapi semakin banyak menarik perhatian publik, akademisi, dan pembuat kebijakan.

Laporan terbaru dari The Conversation dan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa praktik ini mulai menjadi tren, khususnya di beberapa wilayah Indonesia bagian timur.

BACA JUGA

Jika Redenominasi Terjadi: Harga Nasi Goreng Jadi 15 Rupiah dan Anak Kost Merasa Kaya Mendadak

Ketika Restorative Justice Belum Benar-Benar Adil

Meskipun istilah ini masih dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, budaya, dan institusi keluarga, tren ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma sosial terutama di kalangan generasi muda. Ini bukan sekadar fenomena gaya hidup, tetapi juga mengungkap dinamika kompleks tentang ekonomi, hukum, hingga identitas budaya.

Pergeseran Pandangan tentang Pernikahan

Dalam masyarakat tradisional Indonesia, pernikahan adalah simbol normatif dari ikatan suci antara dua individu yang diakui negara dan agama. Namun, generasi muda kini mulai mempertanyakan keharusan pernikahan formal. Sebagian melihat pernikahan sebagai sesuatu yang penuh tekanan, rumit dalam prosedur, serta membawa tanggung jawab sosial dan ekonomi yang tidak ringan.

Dalam laporan The Conversation, disebutkan bahwa banyak anak muda menganggap kohabitasi sebagai bentuk hubungan yang lebih “otentik” dan tulus tanpa terjebak formalitas yang dianggap mengekang. Mereka melihatnya sebagai cara untuk “menguji” hubungan sebelum memasuki komitmen jangka panjang. Di sisi lain, beberapa pasangan memilih kohabitasi karena alasan praktis: sulitnya mengakses prosedur perceraian, tekanan ekonomi, dan keterbatasan tempat tinggal.

Studi Kasus Kohabitasi

Penelitian oleh Yulinda Nurul Aini dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap bahwa Manado, Sulawesi Utara, menjadi salah satu daerah dengan tingkat kohabitasi tertinggi di Indonesia. Berdasarkan Pendataan Keluarga 2021 (PK21), ditemukan bahwa sekitar 0,6% penduduk kota Manado melakukan kohabitasi.

Data menarik lainnya:

* 1,9% pasangan kohabitasi sedang hamil saat survei dilakukan.
* 24,3% berusia kurang dari 30 tahun.
* 83,7% hanya berpendidikan hingga SMA atau lebih rendah.
* 11,6% tidak bekerja, dan mayoritas lainnya bekerja di sektor informal.

Angka-angka ini mengindikasikan bahwa kohabitasi lebih umum terjadi di kalangan muda, berpendidikan menengah ke bawah, dan memiliki pekerjaan tidak tetap. Artinya, kohabitasi bukan sekadar pilihan gaya hidup, tetapi juga cerminan dari kondisi struktural yang dihadapi kelompok sosial tertentu.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Yulinda mencatat bahwa kohabitasi dapat menimbulkan dampak negatif, terutama terhadap perempuan dan anak. Dalam hubungan tanpa ikatan hukum ini, perempuan kerap menjadi pihak yang paling rentan ketika hubungan berakhir. Tidak ada jaminan nafkah, hak asuh anak, atau pembagian aset seperti dalam perceraian resmi.

Lebih lanjut, anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi kerap menghadapi stigma sosial. Mereka bisa dianggap sebagai “anak haram” dan mengalami kesulitan dalam hal pengakuan hukum, pengurusan administrasi, hingga akses pendidikan atau kesehatan yang memerlukan dokumen resmi.

Konflik dalam kohabitasi pun tidak jarang. Data dari PK21 menunjukkan:

* 69,1% mengalami konflik ringan seperti pertengkaran atau tegur sapa.
* 0,62% mengalami konflik serius seperti pisah ranjang atau pisah tempat tinggal.
* 0,26% mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Hal ini menunjukkan bahwa kohabitasi bukanlah hubungan tanpa risiko. Minimnya komitmen dan tidak adanya perlindungan hukum justru bisa membuat kohabitasi menjadi lingkungan yang tidak stabil, terutama bagi anak-anak yang lahir dari hubungan semacam ini.

Perspektif Hukum dan Budaya

Dari sisi hukum, Indonesia belum memiliki kerangka regulasi yang jelas mengenai kohabitasi. Tidak ada perlindungan hukum bagi pasangan yang tinggal bersama tanpa pernikahan, apalagi bagi anak yang lahir dari hubungan tersebut. Dalam banyak kasus, perempuan tidak bisa menuntut hak nafkah atau hak asuh jika terjadi perpisahan.

Secara budaya dan agama, kohabitasi masih dianggap tabu di banyak wilayah, khususnya yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, seperti yang ditunjukkan studi Yulinda, wilayah dengan dominasi non-Muslim cenderung lebih permisif terhadap praktik ini.

Meski begitu, perubahan tetap terjadi. Urbanisasi, paparan budaya global, dan pergeseran nilai-nilai keluarga ikut mendorong lahirnya norma-norma baru tentang relasi, keluarga, dan kebersamaan. Namun, perubahan ini tidak selalu diiringi dengan kesiapan institusi sosial dan hukum untuk merespons secara adil dan inklusif.

Tantangan bagi Kebijakan Publik

Fenomena kohabitasi menantang negara untuk merumuskan kebijakan yang tidak hanya berpijak pada norma moral, tetapi juga pada realitas sosial. Regulasi perlu dirancang agar bisa melindungi kelompok rentan perempuan dan anak tanpa harus mendiskriminasi atau memberi stigma kepada mereka yang memilih jalan hidup berbeda.

Pendidikan seksual yang komprehensif, akses terhadap kontrasepsi, serta program perlindungan anak dan perempuan perlu diperluas. Selain itu, perlu dibuka ruang dialog lintas agama, budaya, dan generasi untuk membahas ulang makna pernikahan, cinta, dan tanggung jawab dalam relasi.

Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab

Fenomena “kumpul kebo” bukan sekadar pemberontakan terhadap norma atau tradisi, tetapi juga refleksi dari kompleksitas hidup di zaman modern. Ada pergeseran nilai, ketimpangan ekonomi, dan ketidakpastian masa depan yang membuat sebagian orang memilih kohabitasi.

Namun, kebebasan memilih gaya hidup juga harus diiringi dengan tanggung jawab sosial. Tanpa perlindungan hukum, perempuan dan anak menjadi korban utama. Tanpa pendidikan dan pemahaman, kohabitasi bisa berubah dari pilihan pribadi menjadi sumber ketidakstabilan sosial.

Masyarakat dan negara perlu belajar hidup berdampingan dengan kenyataan baru ini, tanpa menghakimi, tetapi juga tanpa abai terhadap hak-hak yang harus dilindungi. Di antara moralitas dan realitas, tugas kita adalah menjaga martabat setiap manusia baik mereka yang hidup dalam pernikahan, maupun yang memilih hidup bersama tanpa ikatan resmi.

Karena pada akhirnya, nilai sebuah hubungan tidak hanya diukur dari legalitasnya, tetapi juga dari rasa tanggung jawab, saling menghargai, dan keberanian menghadapi kenyataan.

Tags: HukumKumpul KeboPasanganPernikahan
Plugin Install : Subscribe Push Notification need OneSignal plugin to be installed.

Related Posts

Redenominasi
Esai

Jika Redenominasi Terjadi: Harga Nasi Goreng Jadi 15 Rupiah dan Anak Kost Merasa Kaya Mendadak

10 November 2025
Restorative Justice
Opini

Ketika Restorative Justice Belum Benar-Benar Adil

10 Oktober 2025
Wisata
Esai

Menemukan Makna Wisata di Era Overtourism

2 Oktober 2025
Rojali dan Rohana
Esai

Fenomena Rojali dan Rohana: Ilusi Kemewahan dan Status Sosial di Mall

25 September 2025
Musyawarah
Esai

Musyawarah dan Hukum: Menyatukan Aturan Formal dan Kearifan Lokal

7 Agustus 2025
Gelar
Esai

Beratnya Punya Gelar Sarjana, Tapi Salah Nalar

31 Juli 2025
Next Post
Ilustrasi Politik Sunyi

Politik Sunyi di Tengah Dunia yang Bising

  • Peta sebaran bencana Banjir dan Longsor Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat (Update 6 Desember 2025) - Tangkapan Layar Situs BNPB

    Update! Banjir dan Longsor Terjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat: 914 Jiwa Meninggal, 105 Ribu Rumah Rusak

    672 shares
    Share 269 Tweet 168
  • 10 Website Gratis untuk Download Jurnal Ilmiah

    828 shares
    Share 331 Tweet 207
  • APDESI Purwakarta Ajak Polres Purwakarta, Bedah Penerapan Restorative Justice

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
  • 9 Langkah Menuju ‘Gapura Panca Waluya’, Berikut Isi Surat Edaran Pemda Jabar

    747 shares
    Share 299 Tweet 187
  • Epy Kusnandar: Jejak Seni, Perjuangan, dan Warisan “Kang Mus”

    653 shares
    Share 261 Tweet 163
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Creative Intiporia
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi

© 2025 All Right Reserved Intiporia - Intip Dunia yang Menyenangkan

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kirim Artikel
  • Creative Intiporia
  • Hubungi Kami

© 2025 All Right Reserved Intiporia - Intip Dunia yang Menyenangkan