Hubungan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX, memanas dalam beberapa hari terakhir. Perseteruan yang sebelumnya hanya terbatas pada perbedaan pendapat kini berubah menjadi adu serangan terbuka di media sosial dan ruang publik, memunculkan ancaman politik hingga ekonomi bernilai miliaran dolar.
Pada Selasa, 1 Juli 2025, Trump kepada wartawan menyatakan, “Saya bisa saja melihat kemungkinan mendeportasi Elon.” Elon Musk adalah kelahiran Afrika Selatan dan memegang tiga paspor, yakni Afrika Selatan, Kanada, dan Amerika Serikat. Trump kemudian menegaskan kembali serangannya melalui platform Truth Social.
“Tanpa subsidi dari pemerintah, Elon akan tutup warung dan pulang ke Afrika Selatan,” tulis Trump.
Ia juga menyatakan bahwa “Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) bisa meninjau kembali subsidi pada bisnis satelit atau produksi mobil listrik yang dipunyai Musk. Itu akan menghemat banyak anggaran pemerintah federal.”
DOGE sendiri merupakan badan pemangkasan anggaran federal yang sebelumnya dipimpin oleh Elon Musk sebagai penasihat khusus, meski tidak dilantik secara resmi.
Musk pun membalas melalui platform media sosial X miliknya dengan menulis, “Wah, saya rasanya gatal mau membalas. Tapi, nanti, deh. Saya menahan diri dulu.” Namun beberapa hari kemudian, Musk kembali mencuit, “Saya benar-benar mengatakan HENTIKAN SEMUANYA. Sekarang.”
Perseteruan ini bermula dari keputusan Musk keluar dari jajaran pemerintahan Trump akhir Mei 2025 setelah menolak mendukung RUU omnibus kontroversial yang menurutnya bisa membahayakan keuangan negara. Dalam wawancara dengan CBS, Musk menyatakan, “Namun, semua kesalahan ditimpakan ke DOGE. Kami menjadi kambing hitam pemerintah.”
Musk juga menuduh Trump hanya memperburuk sistem. “Jika rancangan undang-undang pengeluaran gila ini disahkan, Partai Amerika akan dibentuk keesokan harinya,” cuitnya. Ia menyatakan siap mendukung semua politisi yang menolak RUU tersebut.
Hubungan keduanya sebenarnya sempat mesra. Elon Musk diketahui sebagai penyumbang terbesar untuk kampanye Trump dalam Pemilu 2024, dengan total donasi mencapai 250 juta dolar AS. Namun, setelah ditinggalkan oleh Musk, Trump langsung membalas dengan kritik tajam bahkan menyerang aspek pribadi dan bisnisnya.
Trump menyebut Musk sebagai “orang malang yang menyedihkan” dan mempertanyakan semua subsidi pemerintah yang diterima Tesla dan SpaceX. “Elon mungkin mendapatkan lebih banyak subsidi daripada manusia mana pun dalam sejarah, sejauh ini,” kata Trump dalam konferensi pers, dikutip Business Insider.
Konflik ini berdampak langsung pada sektor ekonomi, khususnya saham Tesla yang anjlok hingga lebih dari 6 persen dalam satu hari perdagangan, menyentuh level terendah dalam tiga minggu. Menurut laporan Bisnis.com, “Kekayaan bersih pemegang saham terbesar Tesla, Musk, anjlok US$12 miliar atau nyaris Rp195 triliun.”
Musk yang sempat digadang-gadang sebagai ‘penguasa bayangan’ di balik administrasi Trump, kini justru menjadi musuh utamanya. Di media sosial beredar anekdot bahwa “presiden AS yang sebenarnya adalah Musk, sedangkan Trump adalah wakil dari Musk.” Hal ini dipicu oleh dominasi Musk dalam kebijakan efisiensi anggaran dan penghematan federal.
Melansir CNBC Indonesia, Musk bahkan sempat mengancam akan mendirikan partai politik baru bernama “Partai Amerika” sebagai respons terhadap RUU kontroversial Trump. “Saya akan mendukung setiap politikus yang menentang RUU Omnibus ini di pemilu awal dan pemilu sela,” ujar Musk.
Namun serangan balasan dari Trump tak kalah sengit. Dalam pernyataan di Truth Social, ia menyebutkan bahwa DOGE harus menyelidiki kepentingan bisnis Musk. “Mungkin kita harus meminta DOGE untuk melihat ini dengan seksama? BANYAK UANG YANG BISA DIHEMAT!!!”
Dalam laporan Pelantar.id, pemerintah Amerika Serikat secara resmi sedang mempertimbangkan pencabutan miliaran dolar subsidi untuk perusahaan milik Musk. Hal ini menambah tekanan terhadap bisnis Tesla dan SpaceX yang dinilai sangat bergantung pada insentif pemerintah.
Konflik terbuka ini tidak hanya mencerminkan ketegangan personal, namun juga menyingkap pertarungan ideologis tentang peran subsidi, efisiensi anggaran, dan kekuasaan ekonomi raksasa teknologi dalam pemerintahan.