Bulan Ramadan datang lagi! Itu artinya, notifikasi WhatsApp, DM Instagram, dan grup alumni mendadak aktif seperti pasar malam. “Eh, kapan nih bukber?” menjadi pertanyaan wajib yang muncul di setiap obrolan. Dari bukber keluarga besar, sampai bukber komunitas yang tiba-tiba reunian tanpa basa-basi.
Tapi, di balik semaraknya acara buka puasa bersama (bukber), ada pertanyaan yang mengusik: bukber ini benar-benar untuk mempererat persaudaraan atau cuma tren musiman biar tetap terlihat eksis?
Nostalgia Manis atau Ajang Pamer?
Bukber sering kali menjadi ajang reuni yang dinantikan. Ini adalah kesempatan untuk melepas rindu, bertukar cerita, dan mengenang masa lalu.
Namun, bukber juga bisa berubah menjadi ajang pamer terselubung—dari outfit mentereng hingga percakapan tentang karier yang sukses, terkadang esensi silaturahmi tergeser oleh keinginan untuk menunjukkan pencapaian.
Tidak semua orang merasa nyaman dengan suasana ini. Ada yang datang hanya untuk “cek ombak” siapa yang masih single, ada pula yang akhirnya memilih untuk tidak hadir karena takut dibanding-bandingkan.
Di era media sosial, perasaan ini semakin diperkuat oleh unggahan foto-foto bukber yang lebih menampilkan kesan glamor dibandingkan kebersamaan sejati.
Bukber Mahasiswa: Dari Mie Instan sampai Fancy Cafe
Bagi mahasiswa, bukber memiliki spektrum yang luas. Ada yang sederhana di kos-kosan dengan mie instan dan air putih, ada yang memilih berbuka di masjid kampus sekalian tarawih, dan ada pula yang merayakannya di restoran mahal demi konten Instagram.
Namun, bukber mahasiswa lebih dari sekadar makanan dan tempat. Ini adalah waktu berharga untuk beristirahat dari tumpukan tugas dan merajut kembali tali persahabatan yang mungkin sempat renggang karena kesibukan.
Sayangnya, di era digital, bukber juga mengalami “mutasi”—tidak sah rasanya jika tidak ada ritual foto estetik, video slow-motion pas angkat gelas, atau caption bertema Ramadan yang penuh makna.
Esensi Keberkahan: Bukber dan Nilai Ibadah
Dalam Islam, silaturahmi adalah bagian penting dari ibadah. Sayangnya, banyak yang lupa bahwa bukber seharusnya lebih dari sekadar ajang kumpul-kumpul.
Seberapa sering kita benar-benar mendengar cerita teman lama, bukan sekadar sibuk menggulir layar ponsel? Seberapa dalam makna kebersamaan yang kita bangun, bukan sekadar pamer momen di media sosial? Bukber bisa menjadi waktu untuk refleksi, berbagi, dan menguatkan satu sama lain dalam kebaikan.
Selain itu, di tengah tren bukber mewah, ada baiknya kita kembali merenungkan konsep keberkahan.
Apakah acara dalam agenda tersebut membuat kita mengundang keberkahan dengan berbagi kepada yang membutuhkan? Atau justru menjadi ajang konsumtif yang hanya memperbesar pengeluaran tanpa makna yang lebih dalam?
Kalo ada Ajakan Bukber, Harus Ikut atau Engga?
Bagi sebagian orang, agenda rutin ini bisa menimbulkan tekanan sosial. Ada yang ingin ikut tetapi terhalang biaya atau alasan pribadi.
Dalam situasi seperti ini, bukber bisa menimbulkan FOMO (Fear of Missing Out) atau rasa takut ketinggalan. Bagaimana jika kita tidak ikut? Apakah akan dianggap tidak peduli?
Seharusnya, agenda ini bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Justru, acara ini sebaiknya menjadi wadah yang inklusif, di mana semua orang bisa merasa nyaman tanpa harus memikirkan status ekonomi atau pencapaian pribadi.
Mungkin sudah saatnya kita mengadopsi konsep bukber yang lebih sederhana dan berorientasi pada kebersamaan sejati.
Inget, ya! Sampah Plastik dan Sisa Makanan
Satu hal yang sering terlupakan dalam euforia agenda buka puasa bersama ini, adalah dampaknya terhadap lingkungan. Banyak restoran yang menggunakan wadah plastik sekali pakai, dan tidak jarang makanan tersisa begitu saja tanpa disentuh.
Sebagai generasi yang semakin sadar akan isu lingkungan, kita bisa mulai mencari cara agar tetap merayakan kebersamaan tanpa menambah beban bagi bumi.
Membawa tumbler sendiri, mengurangi pemakaian plastik, dan tidak memesan makanan berlebihan bisa menjadi langkah sederhana untuk membuat bukber lebih ramah lingkungan.
Jadi, Sekadar Tren atau Tradisi Bermakna?
Pada akhirnya, makna bukber ada di tangan kita. Apakah hanya sekadar mengikuti tren atau benar-benar menjadi momen mempererat persaudaraan?
Bukber seharusnya lebih dari sekadar tempat dan makanan; ini tentang bagaimana kita menghargai kebersamaan, mendengar cerita satu sama lain, dan berbagi kebahagiaan dengan cara yang lebih bermakna.***