Di tengah semangat perlawanan mahasiswa 1998 yang mengguncang rezim Orde Baru, nama Tan Malaka sering muncul di ruang-ruang diskusi, mimbar bebas, hingga pamflet perlawanan.
Meski telah lama wafat dan sempat dikaburkan dalam sejarah resmi, gagasan-gagasannya tentang pendidikan, kemerdekaan, dan rakyat pekerja menjadi inspirasi penting bagi mahasiswa yang mendambakan perubahan struktural.
Pendidikan sebagai Jalan Revolusi
Tan Malaka bukan hanya pejuang politik, tapi juga pendidik radikal. Lewat bukunya Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), ia menyerukan pentingnya membebaskan akal rakyat dari dogma dan takhayul kolonial. Bagi Tan, pendidikan bukan alat untuk mencetak pekerja taat, tapi jalan untuk membentuk manusia merdeka yang berpikir kritis dan membangun dunia yang adil.
Pemikiran ini sangat kontras dengan sistem pendidikan Orde Baru yang sarat indoktrinasi dan kontrol. Tak heran jika mahasiswa era 1990-an hingga awal reformasi banyak menggali ulang warisan pemikirannya baik melalui kajian buku bawah tanah, diskusi di lorong-lorong kos, hingga selebaran kampus.
Tokoh yang Dilenyapkan, Tapi Tak Pernah Hilang
Tan Malaka sempat dicap sebagai pengkhianat, komunis, bahkan musuh negara. Namanya disingkirkan dari kurikulum, makamnya lama tak dikenali, dan jasanya jarang disebut dalam buku sejarah. Namun, justru dalam penghilangan itu, muncul generasi mahasiswa yang berusaha mencarinya kembali.
Dalam konteks gerakan mahasiswa 1998, Tan menjadi simbol perlawanan terhadap penguasa yang menindas sekaligus simbol pemikiran alternatif yang melampaui politik elitis. Ia mengajarkan bahwa pendidikan tak bisa netral: ia harus berpihak pada rakyat, pada keadilan, dan pada pembebasan.
Inspirasi Lintas Zaman
Tan Malaka bukan sekadar sejarah, tapi masa depan yang belum selesai. Gagasan pendidikannya tetap relevan di tengah komersialisasi pendidikan tinggi, birokratisasi ilmu, dan matinya ruang kritis di kampus. Ia mengingatkan bahwa intelektual sejati bukan yang hidup nyaman di menara gading, tetapi yang “turun ke bawah,” menyatu dengan rakyat, dan berjuang bersama mereka.
Bagi mahasiswa hari ini, mengenang Tan Malaka bukan sekadar ritual sejarah. Ia adalah ajakan untuk kembali berpikir, menggugat, dan membangun kembali kampus sebagai ruang pembebasan.
Warisan untuk yang Berani Berpikir
Tan Malaka pernah berkata, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki anak muda.” Mahasiswa 1998 telah membuktikan kutipan itu dalam aksi dan pengorbanan. Kini, tugas kita menjaga bara idealisme itu tetap menyala melalui pendidikan yang kritis, gerakan yang membumi, dan keberanian untuk tak tunduk pada kekuasaan.
Karena seperti Tan, kita tahu: melawan adalah bagian dari mencintai.