RUU TNI ini ibarat sinetron yang penuh intrik. Belum juga disahkan, sudah menimbulkan berbagai polemik.
Mulai dari gebrakan “rapat tertutup di hotel mewah” yang bikin rakyat mengernyitkan dahi, unggahan influencer yang “bersuara”, hingga klarifikasi DPR yang—berusaha untuk menenangkan—tapi malah bikin kepala saya makin pusing.
Jadi, siapa yang harus dipercaya?
Rapat Bahas RUU TNI di Hotel
Melansir Siaran Pers yang dimuat pada laman resmi KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) berjudul “Kebut Pembahasan RUU TNI di Hotel Mewah Bintang 5: Pemerintah dan DPR Menyakiti Hati Rakyat” yang diunggah pada 15 Maret 2025.
Di tengah sorotan publik terhadap revisi Undang-Undang TNI, pemerintah dan DPR malah memilih membahas RUU ini di hotel mewah bintang 5, Fairmont Jakarta, pada 14-15 Maret 2025.
Diketahui, sebelumnya Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, mengatakan bahwa RUU TNI tidak akan disahkan sebelum masa reses Lebaran 2025.
Namun, tiba-tiba ada rapat percepatan di hotel mewah. Publik pun bertanya-tanya, “Kenapa harus di hotel mewah? Apa ruang rapat di gedung DPR sudah penuh semua?”
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai langkah ini menunjukkan rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik. Mereka juga khawatir bahwa revisi ini bisa mengembalikan dwifungsi TNI, di mana militer aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil.
Pada kesempatan lain, Staf Khusus Menteri Pertahanan, Deddy Corbuzier, membantah keras tudingan ini. Dalam sebuah keterangan video yang diunggahnya melalui akun Instagram @dc.Kemhan, Deddy menegaskan bahwa rapat tersebut resmi, konstitusional, dan tidak membahas dwifungsi ABRI.
“Rapat kemarin itu resmi, konstitusional, dan tidak lagi membahas dwifungsi TNI. Menteri Pertahanan Pak Sjafrie Syamsuddin juga sudah berkali-kali menegaskan Dwifungsi TNI sudah dikubur sejak dulu. Arwahnya sudah tidak ada, bahkan jasadnya pun sudah tidak ada” ujarnya.
Lebih lanjut, Deddy menyebut bahwa seluruh fraksi DPR hadir untuk memastikan keputusan diambil berdasarkan suara rakyat.
Suara Influencer
Deddy Corbuzier juga menyoroti pihak-pihak yang dinilai mengganggu rapat pembahasan RUU TNI beberapa hari lalu. Menurutnya, ada kelompok tertentu yang menyebarkan informasi keliru dan memprovokasi masyarakat dengan narasi yang menyesatkan.
Di sisi lain, para influencer ramai-ramai mengajak netizen untuk menolak RUU ini. Mereka khawatir militer akan memiliki peran lebih besar di urusan sipil, mengingat sejarah dwifungsi TNI yang pernah kontroversial.
Misalnya saja, unggahan dari akun Instagram Bintang Emon @bintangemon, yang menuliskan keterangan dalam gambar yang diunggahnya, “Terus perjuangkan sebelum digital dibatasi dan senapan menghiasi” tulisnya.
“Saya Bintangemon mengajak untuk menolak RUU TNI” tegasnya dalam akhir kalimat yang dimuat dalam bentuk gambar yang diunggah Bintang Emon.
Senada dengan sikap Bintang Emon, Ferry Irwandi turut mengunggah suaranya terkait penolakan RUU TNI ini, “Teman-teman, mari melawan sebaik-baiknya” tulis Ferry dalam keterangan unggahan melalui akun Instagramnya.
“Saya Ferry Irwandi, saya warga sipil, saya bukan hanya menolak RUU TNI, saya mengutuk RUU TNI, dan saya siap atas segala resiko yang mungkin saya hadapi dari pernyataan ini” tutup Ferry dalam gambar yang bertuliskan pernyataannya.
Konferensi Pers: Klarifikasi DPR soal Dinamika RUU TNI
DPR pun akhirnya menggelar konferensi pers yang disiarkan di Instagram Live melalui akun resmi DPR RI @dpr_ri pada Senin, 17 Maret 2025.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan bahwa draf yang beredar luas di media sosial tidak sesuai dengan kenyataan yang sedang dibahas di DPR.
Disampaikan oleh Dasco bahwa terdapat 3 pasal yang masuk dalam revisi Undang-undang TNI. Di antaranya adalah Pasal 3 mengenai kedudukan TNI, Pasal 47 mengenai pos jabatan sipil untuk TNI, dan Pasal 53 tentang usia pensiun TNI.
Dasco juga membantah adanya anggapan yang menyebut DPR mengebut proses revisi UU TNI.
“Tidak ada kebut mengebut dalam revisi Undang-Undang TNI. Seperti kita tahu bahwa revisi UU TNI ini sudah berlangsung beberapa bulan lalu,” jelasnya.
Ia juga menyatakan bahwa pembahasan revisi UU TNI di Hotel Fairmont bersifat terbuka untuk publik.
“Tidak ada rapat terkesan diam-diam karena rapat yang dilakukan di hotel itu adalah rapat terbuka. Boleh dilihat di agenda rapatnya itu rapat diadakan terbuka,” ujar Dasco.
Dasco juga mengklaim bahwa pembahasan revisi UU TNI ini sesuai dengan prosedur dan mengakomodasi kepentingan publik.
“Bahwa kemudian ada berkembang tentang dwifungsi TNI, saya rasa kalau sudah lihat pasalnya akan lebih paham. DPR juga menjaga supremasi sipil,” jawabnya kepada media.
Apakah ini akan Berlanjut?
Intinya, ini semua adalah bukti bahwa komunikasi antara pembuat kebijakan dan masyarakat itu masih seperti hubungan yang penuh prasangka dan salah paham.
Dari satu sisi, DPR merasa mereka sudah transparan. Dari sisi lain, masyarakat merasa dibohongi terus-terusan.
Solusinya? Sederhana sih, DPR harus lebih terbuka dan jelas dalam menyampaikan isi revisi ini dan apa yang menjadi maksud urgensi setiap RUU, jangan sampai masyarakat malah dapat info dari bisikan-bisikan liar dan menimbulkan prasangka tujuan dari RUU.
Di sisi lain, masyarakat juga mesti kritis, tapi tetap berdasarkan informasi yang benar.
Yang jelas, kita semua nggak mau plot twist yang bikin gregetan, kan?
***