Kalimat tersebut bukan sekadar ungkapan putus asa, tapi potret kejujuran dari banyak rakyat kecil yang merasa terpinggirkan dari proses politik. Dalam demokrasi lokal, terutama menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada), kalimat semacam itu makin sering terdengar menunjukkan jurang yang lebar antara elite politik dan rakyat sehari-hari.
Di tengah gemuruh baliho, spanduk, dan safari politik para calon kepala daerah, sebagian warga memilih diam. Mereka tidak datang ke forum diskusi, tak tertarik pada janji-janji manis, dan enggan terlibat dalam obrolan seputar visi-misi. Bagi mereka, pemilu adalah ritus rutin yang jarang menyentuh kenyataan hidup sehari-hari.
Namun, apakah sikap apatis ini sepenuhnya keliru?
Sebagian rakyat merasa kecewa karena politik lokal kerap diwarnai dengan “budaya sowan saat butuh suara”, lalu melupakan rakyat setelah menang. Siklus ini membuat banyak orang kehilangan kepercayaan. Pemimpin datang membawa janji, lalu pergi membawa kepentingan.
Meski demikian, menilai seluruh proses secara hitam-putih tentu tidak adil. Di balik segala keluh-kesah, sebenarnya ada dinamika yang layak untuk dilihat lebih jernih. Kehadiran para calon ke masyarakat, meskipun sering dibingkai secara elektoral, tetap memiliki nilai positif. Ia membuka ruang perjumpaan, pertukaran gagasan, bahkan potensi kolaborasi.
Sebagian warga mulai memahami bahwa dalam realitas politik hari ini, “mencari panggung” adalah hal yang lazim. Tidak ada yang salah dengan memperkenalkan diri, membangun jejaring, atau menyusun strategi kampanye. Justru dari proses itulah rakyat dapat menilai mana calon yang hanya menjual pencitraan, dan mana yang benar-benar peduli dan berkomitmen.
Artinya, keterlibatan warga dalam proses politik tidak selalu harus melalui dukungan mutlak atau fanatisme. Bisa juga melalui sikap kritis dan aktif mengamati, mengajukan pertanyaan, dan menagih janji meskipun dari posisi yang sederhana.
Kekuasaan seharusnya bukan sekadar alat untuk mencapai jabatan, tapi instrumen untuk mengawal idealisme
Dalam konteks ini, rakyat tidak boleh berhenti peduli. Karena apapun hasil Pilkada nanti, dampaknya akan kembali ke kehidupan mereka dari harga bahan pokok, layanan kesehatan, hingga kebijakan tenaga kerja. Ketika rakyat abai, ruang itu akan diisi oleh kepentingan yang tidak berpihak.
Maka, meskipun hari-hari kita dihabiskan sebagai buruh, petani, pedagang, atau mahasiswa, suara kita tetap berharga. Kita tidak perlu menjadi politisi untuk berpolitik. Cukup dengan tetap peduli, kritis, dan tidak menyerahkan harapan begitu saja kepada sistem yang kita tahu masih cacat.
Karena politik yang baik hanya mungkin lahir dari rakyat yang tidak menyerah pada apatisme, dan pemimpin yang tidak mengorbankan idealisme demi kekuasaan.