Purwakarta – Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Kabupaten Purwakarta menyampaikan kritik keras terhadap pelaksanaan Musyawarah Desa (Musdes) di sejumlah desa yang dinilai tidak sesuai prinsip demokrasi dan keterbukaan informasi publik.
Banyak Musdes di wilayah Purwakarta yang digelar tanpa memenuhi kuorum dan hanya dihadiri oleh segelintir orang terdekat kepala desa atau perangkatnya.
“Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga pengkhianatan terhadap prinsip dasar demokrasi desa,” tegas Didi supriady Ketua DPC PWRI Purwakarta, dalam keterangan tertulis yang diterima 19 Mei 2025.
Parahnya lagi, PWRI menerima banyak aduan dari warga desa bahwa mereka tidak pernah mendapatkan informasi sebelumnya bahwa akan ada Musdes. Tiba-tiba kegiatan sudah berlangsung dan keputusan sudah diambil tanpa keterlibatan masyarakat luas.
“Warga tidak diberi tahu, tidak ada undangan terbuka, tidak ada pemberitahuan di papan pengumuman, media sosial desa pun tidak digunakan. Musdes seolah hanya untuk kalangan terbatas, bukan forum publik seperti yang diatur undang-undang,” ujar salah seorang warga Kab. Purwakarta.
Selain itu, pelaksanaan Musdes yang tertutup dan terkesan diam-diam ini juga melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). PWRI menilai hal ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Sementara Wakil Ketua DPC PWRI, Anggraena, menambahkan bahwa pelaksanaan Musdes tanpa tidak melibatkan masyarakat secara representatif, bertentangan langsung dengan regulasi yang berlaku. Ia merujuk pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Musyawarah Desa, khususnya Pasal 10 yang menyebutkan:
Pelaku Musyawarah Desa terdiri atas:
a. Pemerintah Desa;
b. BPD; dan
c. Unsur masyarakat.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa unsur masyarakat itu meliputi tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, kelompok tani, nelayan, pengrajin, perempuan, pemerhati anak, dan masyarakat miskin. Anggraena mempertanyakan, jika unsur-unsur tersebut tidak dilibatkan, maka Musdes sah secara hukum dan tidak cacat demokrasi?.
PWRI mendorong Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Purwakarta untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan memberi teguran keras terhadap desa-desa yang melanggar asas demokrasi dan keterbukaan informasi.
“Kami meminta agar pelaksanaan Musdes ke depan diumumkan secara terbuka dan melibatkan semua unsur masyarakat, agar pembangunan desa benar-benar partisipatif, adil, dan berpihak pada kepentingan warga, bukan hanya segelintir elit atau orang terdekat desa,” pungkas Didi supriady.
PWRI menegaskan akan terus mengawal proses demokratisasi di desa sebagai bagian dari komitmen pers dalam membela hak rakyat untuk didengar, dilibatkan, dan dihormati.
PWRI juga meminta pemerintah desa untuk menghentikan praktik-praktik tertutup dan membangun kembali kepercayaan masyarakat melalui keterbukaan dan partisipasi.
“Desa adalah milik bersama, bukan milik segelintir elite. Musdes harus terbuka, inklusif, dan sah secara hukum. Tanpa itu, arah pembangunan desa bisa menyimpang dari kepentingan rakyat,” kata Didi mengakhiri.***