Sore itu, halaman kampus Universitas Kartamulia tampak berbeda dari biasanya. Di tengah area terbuka, terbentang sebuah spanduk putih polos sepanjang beberapa meter — tanpa logo, tanpa hiasan besar. Hanya ada tulisan sederhana di bagian atas: “Pojok Ekspresi”
Bukan sekadar dekorasi, spanduk itu disiapkan sebagai media tulis bersama. Siapa pun yang hadir bisa menorehkan kalimat, pesan, atau refleksi pribadi tentang apa arti Sumpah Pemuda bagi dirinya. Tak ada batasan. Semua bebas menulis — mahasiswa, dosen, hingga pengunjung yang lewat.
Dalam hitungan menit, kain putih itu mulai dipenuhi coretan warna-warni. Ada yang menulis cepat tanpa banyak pikir, ada pula yang sempat berhenti lama, menatap kosong sebelum akhirnya menuliskan sesuatu. Spanduk itu perlahan berubah menjadi dinding ekspresi, tempat kata-kata lahir dari berbagai suara.
Suasana semakin hidup ketika acara berlanjut dengan pembacaan puisi dari Komunitas Pena dan Lensa (KOPEL) Purwakarta. Mereka hadir berkolaborasi dengan mahasiswa Universitas Kartamulia, membawakan karya sastra bertema kebangsaan. Bait demi bait puisi menggema di udara sore, membungkus suasana dengan nuansa reflektif dan hangat.

Di sela kegiatan, Ketua BEM Universitas Kartamulia periode 2025–2026, Firman Aji Setiyawan, turut menyampaikan pandangannya tentang makna Sumpah Pemuda bagi generasi kampus saat ini.
“Sumpah Pemuda bagi kami bukan sekadar warisan sejarah, tetapi komitmen moral untuk terus merawat persatuan bangsa melalui nalar, karya, dan tanggung jawab akademik,” ujar Firman.
Ia melanjutkan bahwa semangat itu tak hanya hidup dalam upacara atau peringatan tahunan, tapi juga lewat aktivitas sehari-hari mahasiswa yang terus berpikir, berkarya, dan berkontribusi nyata.
“Di kampus Kartamulia, refleksi Sumpah Pemuda diwujudkan dengan belajar sungguh-sungguh, berdialektika secara beradab, dan melahirkan gagasan serta aksi yang membawa manfaat bagi masyarakat dan negara,” sambungnya.
Firman menekankan, komitmen itu bukan hanya untuk diperingati, melainkan untuk dijalani. Dari ruang kelas hingga ruang publik, mahasiswa diharapkan tetap menjadi bagian dari generasi yang bersatu dalam tujuan, teguh dalam intelektualitas, dan setia mengabdi bagi Indonesia.
Sementara itu, kegiatan Pojok Ekspresi berjalan sederhana namun penuh makna. Tak ada panggung besar, tak ada sorotan kamera berlebihan. Semua yang hadir menjadi bagian dari karya kolektif: menulis kalimat, membaca puisi, dan berbagi pandangan tentang semangat muda.
Menjelang senja, spanduk putih itu telah penuh dengan tulisan tangan dari berbagai arah. Ada kalimat singkat, ada pula yang panjang seperti surat. Tidak semuanya rapi, tetapi justru di situlah keindahannya — setiap kata punya emosi dan cerita sendiri.
Kegiatan ini menunjukkan bahwa Sumpah Pemuda tak harus selalu diingat lewat pidato formal. Kadang, ia hadir dalam bentuk sederhana: lewat spidol dan kain putih, lewat tulisan spontan dari hati yang masih percaya pada makna persatuan.
Dari sore itu, mahasiswa Universitas Kartamulia menegaskan satu hal — bahwa semangat pemuda 1928 masih hidup di era digital ini, hanya caranya saja yang berbeda. Jika dulu mereka berikrar dengan suara, kini generasi muda menulis sumpahnya lewat kata.
Dan di atas spanduk putih itu, cerita kecil tentang Pojok Ekspresi menjadi pengingat bahwa persatuan, gagasan, dan semangat berkontribusi tidak pernah kehilangan tempat — selama masih ada yang mau menuliskannya.

















