Perjalanan Yuli (bukan nama sebenarnya) memilih untuk bekerja di salah satu dapur MBG (Makan Gizi Gratis) di Kabupaten Purwakarta menaruh kisah yang amat sangat berkesan. Bukan, ini bukan kisah tentang piring pecah atau flashmob dadakan, melainkan kisah tentang bagaimana dapur bisa lebih “brutal” dari medan perang di anime.
Mahasiswa Hukum yang hobi cosplay ini, sudah beberapa bulan mengabdi pada negara lewat jalur porsi makanan gratis. Bayangkan saja, hari libur dia bisa jadi karakter Goku, hari kerja dia jadi tukang plating yang harus berbaur dengan buah-buahan.
Jabatannya fancy: Penata Porsi. Di kepala Yuli, ia adalah Sous Chef yang memastikan estetika plating makanan MBG setara dengan hidangan bintang lima. Tapi, seperti kata pepatah: Manusia Berencana, Logistik dan Asisten Lapangan (Aslap) yang Menentukan. Tugasnya mulia, tapi ia justru kena colek penuh amarah dari sang Aslap.
Ditha jujur mengakui, dari sisi finansial, kerja di MBG itu masih worth it. Gaji cukup untuk upgrade properti cosplay atau beli kuota.
“Sebenernya dari sistem kerja nyamah enak, gaji juga per 2 minggu 1,2…”
Namun, di setiap program pemerintah yang tampak sempurna, selalu ada kerikil tajam bernama birokrasi dan kekuasaan lokal. Bagi Ditha, kerikil tajam itu berwujud trio rese: Aslap (Asisten Lapangan), Kepala SPPG, dan Mitranya.
Dapur MBG itu adalah sebuah panggung kontras. Yuli yang harus menjaga profesionalisme dan “seni” porsi, harus berhadapan dengan Koki (yang tidak bisa disebut namanya) yang temperamennya sebanding dengan panas kompor yang full power. Koki selalu tertekan karena harus menyulap bahan yang sedikit menjadi banyak.
Koki memang panas, tapi biang keladi yang membuat Yuli naik darah rupanya adalah Sang Aslap. Menurut Yuli, Aslap ini termasuk dalam trio rese yang bikin suasana chill di dapur mendadak jadi tegang.
Konflik pun pecah gara-gara sesuatu yang sangat tidak penting: Posisi Semangka.
“Awal nya emang dia ini kan aslap, dia lg marah-marah kayaknya karena pasokan bahan kurang, aku anteng di pemorsian,” cerita Yuli memulai kronologi.
Tentu saja, Aslap sedang bad mood karena bahan kurang, sementara porsi harus tetap dikerjakan. Yuli, demi efisiensi ala master penata porsi, punya teknik unik saat memasukkan irisan semangka.
“Aku masukin semangka itu ga satu-satu tapi sekaligus di banyak ompreng, nah si semangka nya tuh berdiri di ompreng ga tidur gitu lah ngerti ga si ya gitu la yaa aku bingung jelasin.” lanjut Yuli curhat ke tim Redaksi.
Filosofi semangka tegak yang seharusnya mempercepat kerja itu dianggap konyol oleh Aslap.
Aslap: “Yuli ini semangka jgn gitu!”
Yuli baru saja ingin membalas sopan, “Sabar Bunda…”
Tahu-tahu, JEDHER!
“Tau tau di colok gitu biar aku ga nembalin kali maksudnya mah,” kenang Yuli.
Dicocol, di bagian leher kira-kira begitu pokoknya. Intinya, perlakuan fisik ringan yang bertujuan untuk membungkam.
Ini semacam smackdown versi halus. Leher Yuli mungkin tidak bengkak, tapi harga dirinya sebagai calon advokat yang sedang mencari nafkah hancur karena semangka yang berdiri tegak dan tangan Aslap yang rese.
Aslap, menyadari tindakannya agak keterlaluan, langsung panic selling dan mengklaim tindakannya itu hanyalah ‘candaan’. Bahkan, ia berniat melakukan upaya yang melanggar hukum, dengan membawa anak-anak pemorsian lainnya ke rumah.
“Dia validasi ke anak2 pemorsian bahwa dia cuma becanda bahkan niat bawa anak2 pemorsian buat kerumah sebagai saksi.”
Sayangnya, ia berhadapan dengan calon advokat yang hobi cosplay. Yuli, dengan kepala dingin khas mahasiswa menjelang semester akhir, tidak membiarkan bullying terselubung itu berlalu.
“Tapi aku di hari yg sama pas kejadian aku langsung visum dan jadiin perkara dan lapor ke kepala sppg,” tegas Yuli.
Candaan fisik di dapur itu langsung dinaikkan levelnya menjadi perkara serius dengan bukti medis. Apalagi, ada satu senjata rahasia yang jauh lebih jujur dari kesaksian teman-teman yang tertekan: CCTV.
“Ada juga CCTV, otomatis laporan aku lebih kuat dong? Justru aneh kalo ada CCTV tp mereka ga bersaksi sebenernya kejadian itu terjadi.”
Di mata Yuli, konflik di dapur ini sudah beralih dari masalah semangka berdiri menjadi kasus Obstruction of Justice skala kecil. Kekuatan kesaksian yang dimanipulasi Yuli Aslap tidak akan pernah bisa mengalahkan rekaman kamera pengawas yang objektif. Dapur MBG di salah satu wilayah di Purwakarta tempat Yuli bekerja, kini bukan lagi tempat memasak, melainkan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang disorot CCTV.
Yuli mungkin masih berurusan dengan birokrasi MBG dan kemungkinan dipindahtugaskan atau bahkan diberhentikan. Tapi, ia telah membuktikan satu hal: status Mahasiswa Hukumnya bukan sekadar pajangan.
Ia datang ke dapur MBG untuk menata porsi. Ia pergi dengan pelajaran bahwa keadilan harus diperjuangkan, bahkan jika pemicunya hanya sebuah semangka yang berdiri tegak. Gaji Rp1,2 juta per dua minggu memang enak, tapi trauma karena “dicolok” dan dibohongi harus dibayar mahal oleh sistem yang membiarkan Aslap-nya berulah.
Program Makan Gizi Gratis ini menyimpan ironi akut bagi Yuli: Tujuannya memberi gizi fisik pada anak-anak, tapi merampok kesehatan mental dan fisik para pekerjanya.
Satu hal yang pasti, di balik setiap piring yang ideal, ada harga yang dibayar mahal. Bukan cuma harga bahan baku yang kurang, tapi juga harga dari tangan seorang cosplayer yang dihempaskan.
















