Kalau urusan pemilihan RW, seharusnya gampang. Namanya juga skala kampung, paling banter ribut soal siapa yang lebih rajin kerja bakti atau siapa yang paling sering nyumbang nasi kotak pas ada hajatan.
Tapi entah kenapa, belakangan banyak pemilihan RW yang jadi ribet gara-gara salah tafsir undang-undang. Ada saja warga yang bawa-bawa Undang-Undang Pemilu buat mengatur mekanisme pemilihan RW, seolah-olah kampung kita ini mau bikin pemilu legislatif.
Bayangkan, aturan soal kampanye di Undang-Undang Pemilu dipakai untuk melarang calon RW traktir gorengan di pos ronda. Atau ada yang ngotot pemilihan harus pakai TPS lengkap dengan tinta biru di jari, padahal jumlah pemilih cuma belasan orang.
Analogi yang dipaksakan ini bikin suasana pemilihan jadi kaku, ribet, dan kehilangan semangat kekeluargaan. Padahal konteksnya jelas beda: pemilu legislatif itu soal negara, sementara pemilihan RW ya soal urusan kampung. Sama-sama pemilihan, tapi kelasnya beda jauh.
Fenomena salah tafsir ini sudah sering diingatkan para ahli hukum. Satjipto Rahardjo pernah bilang, “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Tapi sayangnya, kalimat ini malah sering dijadikan alasan buat menafsirkan hukum seenaknya. Seakan-akan hukum bisa dipakai untuk semua konteks, padahal jelas tidak begitu.
Sementara Prof. Jimly Asshiddiqie menegaskan, “Hukum harus dipahami sebagai suatu sistem, bukan sepotong-sepotong.” Nah, kalau mau fair, pemilihan RW itu punya dasar hukum dan mekanisme sendiri, nggak bisa dipotong seenaknya pakai aturan yang bukan tempatnya.
Kalau salah tafsir ini dibiarkan, pemilihan RW yang seharusnya sederhana bisa berubah jadi drama panjang. Warga bisa terbelah, debat kusir muncul, bahkan ada yang merasa dizalimi hanya karena “pasal” yang dikutip tidak pada tempatnya. Akhirnya, bukannya guyub, pemilihan RW malah jadi ajang adu argumen hukum ala mahasiswa semester awal.
Maka, solusinya sederhana: mari taruh hukum pada tempatnya. Pemilihan RW tidak perlu serumit pemilu nasional, cukup dengan musyawarah, mufakat, atau voting sederhana yang sesuai aturan desa.
Kalau semua ngotot bawa undang-undang yang bukan konteksnya, jangan-jangan nanti pemilihan RW berikutnya butuh Bawaslu segala. Bukankah itu malah bikin repot?

















