Di tengah dunia yang terus berlari, kita sering kali merasa tertinggal. Waktu seperti tidak pernah cukup, dan hidup seakan berlomba tanpa garis akhir yang jelas.
Dalam arus kehidupan modern yang penuh tuntutan, apakah kita masih punya ruang untuk bertanya: apa makna dari semua ini?
Era serba cepat menuntut efisiensi, produktivitas, dan konektivitas konstan. Kita bangun pagi dengan notifikasi dari ponsel, mengejar target harian, lalu tidur dengan pikiran yang tetap aktif.
Di antara itu semua, keheningan menjadi barang langka. Kita takut akan diam, karena diam berarti tidak produktif. Tapi justru dalam diam itulah sering kali makna hidup terbit.
Banyak tradisi spiritual—dari Zen hingga sufi—mengajarkan pentingnya hening. Keheningan bukan kekosongan, tapi ruang kontemplatif di mana kita bisa bertanya pada diri sendiri: apa yang sedang aku kejar? Untuk siapa aku hidup?
Sebaliknya, kesibukan sering jadi pelarian. Kita menumpuk aktivitas untuk menghindari kekosongan eksistensial. Padahal, terlalu banyak kesibukan tanpa jeda justru membuat kita kehilangan arah.
Kita sibuk, tapi tidak bergerak ke mana-mana secara batin.
Menemukan makna hidup di era ini tidak berarti meninggalkan teknologi atau kota. Ia bisa dimulai dari hal kecil: menyediakan waktu tanpa layar, berjalan kaki sambil merenung, atau sekadar duduk diam di taman tanpa tujuan. Dengan begitu, kita memberi ruang bagi pertanyaan-pertanyaan penting muncul ke permukaan.
Kita bukan hanya makhluk yang harus bekerja dan produktif, tapi juga makhluk yang perlu merasa, bertanya, dan menemukan.